Kehidupanpolitik pada bagian awal di Kerajaan Kediri ditandai dengan perang saudara antara Samarawijaya yang berkuasa di Panjalu dan Panji Garasakan yang berkuasa di Jenggala. Mereka tidak dapat hidup berdampingan, lalu pada tahun 1052 M terjadi peperangan perebutan kekuasaan di antara kedua belah pihak.

Kerajaan Kediri adalah sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Indonesia, yang berdiri pada abad ke-10 hingga ke-14. Kerajaan Kediri merupakan salah satu dari beberapa kerajaan Hindu yang ada di Indonesia pada masa itu, bersama dengan kerajaan Majapahit, Singhasari, dan Kediri dikenal sebagai salah satu kerajaan yang memiliki pengaruh yang cukup besar di Jawa Timur, dengan wilayah kekuasaannya yang meliputi sebagian besar Jawa Timur, termasuk daerah-daerah seperti Madiun, Mojokerto, dan Malang. Kerajaan Kediri juga merupakan salah satu kerajaan yang memiliki hubungan yang dekat dengan negara-negara di Asia Tenggara, seperti Siam, Melayu, dan Kediri dikenal juga dengan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan teknologi. Pada masa itu, kerajaan ini memiliki sistem pendidikan yang terorganisir dengan baik, serta memiliki sejumlah perpustakaan yang memuat banyak buku-buku ilmiah. Kerajaan Kediri juga dikenal dengan kemajuan dalam bidang pertanian, dengan adanya teknologi pertanian yang canggih seperti sistem irigasi yang terorganisir dengan Kediri akhirnya runtuh pada abad ke-14, setelah terjadi perang saudara antar kerajaan di Jawa Timur yang dikenal dengan Perang Wijaya Kusuma. Setelah perang tersebut, kerajaan Kediri digantikan oleh kerajaan Majapahit yang lebih kuat. Meskipun begitu, Kerajaan Kediri masih terus diingat hingga sekarang sebagai salah satu kerajaan Hindu yang penting di Indonesia. Letak Geografis Kerajaan Kediri Wilayah kekuasaan Kediri meliputi Kediri, Madiun, dan bagian barat Medang Kamulan. Ibu kota Kediri adalah Daha yang terletak di tepi Sungai Kediri Letak Geografis, Sumber Sejarah, Kehidupan Politik, dan Keadaan Masyarakat Sumber Sejarah Kerajaan Kediri Sumber sejarah mengenai Kerajaan Kediri berasal dari beberapa prasasti dan berita asing. 1. Prasasti Prasasti Sirah Keting yang memuat tentang pemberian hadiah tanah kepada rakyat desa oleh Raja Jayawarsa. Prasasti yang ditemukan di Tulungagung dan Kertosono berisi masalah keagamaan yang diperkirakan berasal dari Raja Bewasmara. Parasasti Ngantang yang menyebutkan tentang Raja Jayabaya yang memberikan hadiah kepada rakyat desa Ngantang sebidang tanah yang bebas dari pajak. Prasasti Jaring dari Raja Gandra yang memuat tentang sejumlah nama-nama hewan seperti Kebo Waruga dan Tikus Jinada. 2. Berita Asing Berita asing mengenai Kerajaan Kediri sebagian besar diperoleh dari berita Cina. Berita Cina ini merupakan kumpulan cerita dari para pedagang Cina yang melakukan kegiatan perdagangan di Kerajaan Kediri. Contohnya kronik Cina bernama Chu Fan Chi karangan Chu Ju Kua yang diambil ceritanya dari buku Ling Wai Tai Ta yang menerangkan keadaan Kerajaan Kediri pada abad ke-12 dan ke-13 M. Kehidupan Politik Kerajaan Kediri Keadaan masyarakat dan sistem birokrasi Kerajaan Kediri dapat diketahui dari beita Cina, yaitu dari kitab Ling-Wa-Tai-Ta yang ditulis oleh Chou Ku Fei pada tahun 1178 dan kitab Chu-Fhan-Chi- yang disusun oleh Chu Ju Kua pada tahun 1225. Dalam kitab ini dijelaskan mengenai kekuasaan tertinggi di Kediri berada di tangan raja, Tahukah kalian pada masa pemerintahan siapakah Kerajaan Kediri mencapai masa kejayaannya? Kerajaan Kediri mencapai masa kejayaannya oada masa Raja Jayabaya. Untuk lebih jelasnya berikut raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Kediri. 1. Raja Jayawarsa Pemerintah Jayawarsa hanya diketahui melalui Prasasti Sirah Keting. 2. Raja Bameswara Raja Bameswara nanyak meniggalkan prasasti, namun prasasti tersebut lebih banyak mengenai urusan keagamaan sehingga perkembangan pemerintahan tidak banyak diketahui. 3. Jayabaya Kerajaan Kediri dibawah pemerintahan Jayabaya mencapai masa kejayaan. Kediri dan Jenggala dapat dipersatukan kembali. Keberhasilan dan kemenangan Jayabaya ini diabadikan dalam kitab Bharayatayudha karangan Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Raja Jayabaya terkenal sebagai ahli nujum ahli ramal. Ramalannya dikumpulkan dalam sebuah kitab Jongko Joyoboyo. Dalam ramalannya, Jayabaya menyebut beberapa hal seperti ratu adil yang akan datang memerintah Indonesia. Kediri tidak saja berkembang sebagai negara agraris, namun juga sebagai negara maritim. Adanya jabatan Senopati Sarwajala yang disamakan dengan laksamana atau panglima Angkatan Laut menunjukkan kemajuan Kediri di bidang maritim. 4. Raja Saweswara dan Raja Aryeswara Masa pemerintahan kedua raja ini tidak dapat diketahui karena tidak ditemukan prasasti yang menyinggung pemerintahan kedua raja ini. 5. Raja Gandra Masa pemerintahan Raja Gandra dapat diketahui dari prasasti Jaring. 6. Raja Kameswara Pada masa pemerintahan Raja Kameswara seni sastra mengalami perkembangan yang pesat. 7. Raja Kertajaya Raja Kertajaya dikenal dengan sebutan Dandang Gendis dan merupakan raja terakhir Kerajaan Kediri. Pada masa pemerintahan Kertajaya terjadi pertentangan antara raja dan para pendeta kaum brahmana. Pertentangan tersebut terjadi karena Kertajaya berlaku sombong dan berani melanggar adat. Hal tersebut memperlemah pemerintahan di Kediri. Kemudian para brahmana mencari perlindungan kepada Ken Arok yang merupakan penguasa Akuwu/Bupati di Tumapel Bagian Kediri. Pada tahun 1222 M Ken Arok dengan dukungan kaum brahmana menyerang Kediri. Akhirnya Kertajaya dapat dikalahkan oleh Ken Arok. Keadaan Masyarakat Kerajaan Kediri 1. Kehidupan Ekonomi Dari catatan-catatan para pedagang Cina dapat diketahui tentang kehidupan rakyat Kediri dalam bidang perekonomian, yaitu sebagai berikut. Kediri banyak menghasilkan beras. Barang-barang dagangan yang laku di pasaran adalah emas, perak, daging, kayu, cendana, pinang, dan lain-lain. Letak Kediri sangat strategis dalam pelayaran perdagangan antara Indonesia Timur dan Indonesia Barat. Pajak rakyat terdiri dari hasil bumi seperti beras, kayu, dan palawija. 2. Kehidupan Sosial Dalam berita Cina dan kitab Ling Wai Tai Ta menerangkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari orang-orang memakai kain sampai di bawah lutu dengan rambut terurai. Rumah-rumah mereka bersih dan teratur, lantainya ubin berwarna kuning dan hijau. Dalam perkawinan, keluarga pengantin wanita menerima mas kawin berupa emas. Raja berpakaian sutra, memakai sepatu, dan perhiasan emas. Rambut raja disanggul ke atas. Raja bepergian naik gajah atau kereta yang diiringi oleh 500 sampai 700 prajurit. 3. Kehidupan Budaya Kehidupan budaya pada masa kekuasaan Kerajaan Kediri berkembang dengan pesat terutama dalam bidang sastra dan pertunjukan wayang. Wayang yang terkenal di Kediri adalah wayang panji. Berikut hasil-hasil sastra pada zaman Kerajaan Kediri. Kresnayana, diperkirakan berasal dari zaman Raja Jayawarsa ditulis oleh Mpu Triguna, isi Kresnayana mengenai perkawinan antara Kresna dan Dewi Rukmini. Bharatayudha, dikarang oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh tahun 1157 pada masa pemerintahan Jayabaya. Kitab ini ditulis untuk memberikan gambaran terjadinya perang saudara antara Panjalu melawan Jenggala. Perang tersebut digambarkan dengan perang antara Kurawa dan Pandawa yang masing-masing merupakan keturunan Barata. Arjunawiwaha, dikarang oleh Mpu Kanwa. Mengisahkan tentang pernikahan Raja Airlangga dengan putri raja dari Kerajaan Sriwijaya. Dibuat pada masa pemerintahan Raja Jayabaya. 4. Hariwangsa, dikarang oleh Mpu Panuluh pada masa pemerintahan Jayabaya. 5. Smaradhahana, dikarang oleh Mpu Dharmaja pada masa pemerintahan Raja Kameswara. Isi Smaradhahana menceritakan tentang sepasang suami istri Smara dan Rati yang menggoda dewa Syiwa yang sedang bertapa. Smara dan Rati terkena kutukan dan mati terbakar api dhahana karena kesaktian dewa Syiwa. Namun, suami istri tersebut dihidupkan lagi dan menjelma sebagai Kameswara dan permaisurinya. 6. Wrtasancaya dan Lubdaka, dikarang oleh Mpu Tanakung. Kitab Lubdaka ditulis pada zaman Raja Kameswara. Isi kitab Lubdaka menceritakan tentang seorang pemburu bernama Lubdaka. Lubdaka sudah banyak membunuh. Pada suatu ketika Lubdaka mengadakan pemujaan yang istimewa terhadap Syiwa, sehingga rohnya yang seharusnya masuk neraka, menjadi masuk surga. Demikianlah artikel tentang Kerajaan Kediri Letak Geografis, Sumber Sejarah, Kehidupan Politik, dan Keadaan Masyarakat, semoga bisa menjadi informasi yang bermanfaat untuk para pembaca setia blog pustaka ilmu. Jangan lupa untuk di share dan berkomentar. Terimakasih

Keruntuhankerajaan Mataram kuno. Setelah Balitung, pemerintahan dipegang berturut-turut oleh Daksa, Tulodong dan Wawa. Raja Wawa memerintah antara tahun 924-929 M. Ia kemudian digantikan oleh menantunya bernama Mpu Sindhok. Pada masa pemerintahan Mpu Sindhok inilah, pusat pemerintahan Mataram dipindahkan ke Jawa Timur.
Kehidupan politik pada bagian awal di Kerajaan Kediri ditandai dengan perang saudara antara Samarawijaya yang berkuasa di Panjalu dan Panji Garasakan yang berkuasa di Jenggala. Mereka tidak dapat hidup berdampingan. Pada tahun 1052 M terjadi peperangan perebutan kekuasaan di antara kedua belah pihak. Pada tahap pertama Panji Garasakan dapat mengalahkan Samarawijaya, sehingga Panji Garasakan berkuasa. Di Jenggala kemudian berkuasa raja-raja pengganti Panji Garasakan. Tahun 1059 M yang memerintah adalah Samarotsaha. Akan tetapi setelah itu tidak terdengar berita mengenal Kerajaan Panjalu dan Jenggala. Baru pada tahun 1104 M tampil Kerajaan Panjalu sebagai rajanya Jayawangsa. Kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri dengan ibu kotanya di Daha.
Kerajaanini menggantungkan kehidupan ekonominya dari sektor agraris. Keadaan ekonomi politik sosial-budaya mataram kuno 1. Kehidupan Politik Ekonomi Sosial-Budaya Sejarah Kerajaan Kediri Pembagian Kerajaan Mataram Disnati Isana menjadi Jenggala Kahuripan dan Panjalu Kediri dikisahkan dalam prasasti Mahaksubya 1289 M kitab Negarakertagama 1365 Contents1 Sejarah, Nama Raja, Perkembangan dan Peninggalan Kerajaan Sejarah Kerajaan Perkembangan Kerajaan Perkembangan Politik Kerajaan Karya Sastra Kerajaan Sistem Pemerintahan Kerajaan Kehidupan Sosial Masyarakat Golongan Masyarakat Kerajaan Kehidupan Ekonomi Kerajaan Beberapa Raja Dari Kerajaan 1. Airlangga ketika Daha masih menjadi kota yang utuh 2. Sri Samarawijaya ketika Daha sudah menjadi Ibu Kota Panjalu 3. Sri 4. Sri 5. Sri 6. Sri 7. Sri 8. Sri 9. Sri 10. Sri Lencana Kerajaan Lencana pertama Lencana kedua Lencana ketiga Lencana keempat Lencana kelima Lencana keenam Lencana ketujuh Kehidupan Beragama Masyarakat Kesenian Masyarakat Kerajaan Keruntuhan Kerajaan Share thisSejarah, Nama Raja, Perkembangan dan Peninggalan Kerajaan KediriKerajaan Kediri – Kerajaan Kediri atau disebut juga Panjalu adalah kerajaan di Jawa Timur, yang berdiri sejak tahun 1042 – 1222. Yang saat itu berpusat di Kota Daha atau yang sekarang disebut dengan Kota Kediri. Kota Daha sudah ada sejak sebelum Kerajaan Kediri tersebut didirikan, nama Daha sendiri adalah singkatan dari Dahanapura yang artinya Kora Api. Hal itu bisa dilihat dari sebuah Prasasti Pamwatan dari Airlangga, di tahun 1042. Di akhir tahun 1042 Airlangga terpaksa harus membagi wilayah kerajaan, karena adanya perebutan tahta dari dua orang putranya yang bernama Sri Samarawijaya yang mendapat Kerajaan Barat Panjalu di Kota Daha, dan Mapanji Garasakan yang mendapat Kerajaam Timur di Janggala Kota Lama Kerajaan KediriSebelum kerajaannya terbagi menjadi dua, kerajaan yang dipimpin oleh Airlangga ini memiliki nama Panjalu, yang ada di Kota Daha. Kerajaan Janggala terlahir dari pecahan Panjalu, sedangkan kerajaan kahuripan adalah kota lama yang ditinggalkan oleh Airlangga. Yang kemudian menjadi Kota awalnya nama Panjalu ini lebih sering digunakan dibandingkan nama Kediri, atau Kadiri yang terbukti dari isi prasasti dari Raja-raja Kediri. Nama Panjalu dikenal dengan nama Pu Chia Lung, pada kronik Cina yaitu Ling Wai Tai Ta pada tahun 1178. Kediri atau Kadiri berasal dari kata Kadhri dari bahasa sansekerta, yang artinya pohon mengkudu atau pohon Kerajaan KediriAwalnya kerajaan Kediri tidak terlalu diketahui asal usulnya, pada Prasasti Turun Hyang II di tahun 1104 atas nama Sri Jayawarsa ditemukan. Dari beberapa raja sebelum Raja Sri Jayawarsa, hanya Raja Sri Samarawijaya saja yang diketahui. Untuk urutan raja setelah Raja Sri Jayawarsa, diketahui secara jelas dari prasasti yang kemudian ditemukan. Kerajaan Panjalu berada di bawah kekuasaan Sri Jayabhaya yang dapat menaklukan Kerajaan Janggala, dengan semboyan yang ada di Prasasti Ngantang pada tahun 1135 yaitu Panjalu Jayati atau Panjalu masa pemerintahan Jayabhaya tersebut Kerajaan Panjalu mendapatkan masa kejayaannya, dan wilayah itu merupakan seluruh Jawa dan beberapa pulau Nusantara. Serta mengalahkan pengaruh yang berasal dari Kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Bukti ini diperkuat dengan Kronik Cina, yang judulnya Ling Wai Tai Ta dari Chou Ku Fei di tahun 1178. Pada prasasti itu dijelaskan bila menjadi negeri yang paling kaya selain Cina, secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatera yang saat itu berkuasa di Arab adalah Bani Abbasiyah. Di daerah Jawa yaitu Kerajaan Panjalu dan di Sumatera adalah Kerajaan Ju Kua telah melukiskan bahwa di Jawa saat itu menganut dua jenis agama yaitu Budha dan Hindu. Dengan tipe penduduk Jawa yang pemberani dan hobi mengadu binatang. Mata uangnya terbuat dari campuran tembaga dengan perak. Di dalam buku Chu Fan Ci juga disebutkan bahwa Jawa merupakan Maharaja yang memiliki beberapa wilayah jajahan. Tepatnya di Pacitan [Pai hua yuan], Medang [Ma tung], Tumapel, Malang [Ta pen], Dieng [Hi ning], Hujung Galuh yang sekrang menjadi Surabaya [Jung ya lu], Jenggi, Papua Barat [Tung ki], Papua [Huang ma chu], Sumba [Ta kang], Sorong, Papua Barat [Kulun], Tanjungpura Borneo [jung wu lo], Banggal di Sulawesi [Pingya i], Timor [Ti wu] dan juga Maluku [Wu nu ku]. Pada tahun 2007 awal ditemukan situs Tondowongso, yang dipercaya sebagai peninggalan Kerajaan Kediri yang dianggap dapat membantu lebih banyak informasi mengenai Kerajaan Kediri kala Politik Kerajaan KediriMapanji Garasakan memiliki jangka waktu pemerintahan yang sebentar, yang kemudian digantikan oleh Raja Mapanji Alanjung tahun 1052 sampai 1059 M. setelah itu digantikan kembali oleh Sri Maharaja Amarotsaha. Pertempuran yang terjadi dari Janggala dan Panjalu, ternyata masih berlangsung sampai 60 tahun berikutnya. Walaupun tak ada berita dan informasi lagi mengenai kepastian kedua kerajaan tersebut, sampai muncul Kerajaan Bameswara di Kediri pada tahun 1116 sampai 1136 masa itu Ibu Kota Panjalu telah dipindahkan dari Daha ke Kediri, sehingga menjadi lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Kediri. Raja Bameswara mengenakan lencana yang bentuknya tengkorak, yang bertaring di bagian atas bulan sabit. Yang disebut dengan Candrakapala. Setelah Raja tersebut turun tahta, lalu dilanjutkan oleh Jayabhaya yang berhasil mengalahkan Sastra Kerajaan KediriDi masa sejarah Kerajaan Kediri seni sastra sering digunakan di tahun 1157, salah satunya yaitu Kakawin Bharatayuddha yang ditulis oleh Mpu Sedah. Yang lalu diselesaikan oleh Mpu Panuluh. Kitab tersebut memiliki sumber yang berasal dari Mahabrata, yang isinya yaitu kemenangan Pandawa atas Korawa yang digunakan sebagai kiasan kemenangan atas Sri Jayabhaya. Mpu Panuluh juga menulis Kalawin Hariwangsa dan Ghatotkachasraya. Ada pula Pujangga di masa pemerintahan Sri Kameswara, yaitu Mpu Dharmaja yang menulis Kakawin Smaradahana. Kemudian di masa pemerintahan Kertajaya juga ada Pujangga yang bernama Mpu Monaguna, yang menulis Sumanasantaka. Dan Mpu Triguna yang menulis Pemerintahan Kerajaan KediriDi masa pemerintahan Kerajaan Kediri, telah mengalami beberapa pergantian kekuasaan dan ada beberapa Raja yang berkuasa kala itu. Raja pertama dari Kerajaan Kediri adalah Sri Jayawarsa Digjaya Shastraprabhu. Jayawarsa dinamakan sebagai titisan wisnu, yang tertulis di dalam prasasti berangka 1104. Kemudian raja yang kedua adalah Kameswara dengan gelar Sri Maharajake Sirikan Shri Kameshhwara Sakalabhuwanatushtikarana Sarwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayottunggadewa atau lebih dikenal dengan Kameshwara I tahun 1115 sampai 1130. Prabu Sarwaswera adalah raja yang dikenal taat dalam beribadah, budaya, dan memegang teguh prinsip tat wam asi yang memiliki arti, Dikaulah itu, , dikaulah semua itu, semua makhluk adalah Prabu Sarwaswera, tujuan hidup manusia yang terakhir adalah Mooksa. Yaitu pemanunggalan jiwatma dengan paramatma. Atau jalan yang benar adalah jalan yang menuju ke arah kesatuan, segala sesuatu yang menghalangi kesatuan tersebut adalah tidak Kroncharyadipa adalah nama dengan arti benteng kebenaran, Prabu sangat adil pada masyarakat dan seorang pemeluk agama yang taat. Khususnya dalam mengendalikan diri ketika sedang memerintah. Ia memiliki prinsip sad kama murka, yakni enam macam musuh dalam diri manusia. Keenam itu adalah kroda marah, moha kebingungan, kama hawa nafsu,loba rakus,mada mabuk, masarya iri hati.Kehidupan Sosial Masyarakat KediriKehidupan di masa Kerajaan Kediri terbilang baik dan sejahtera. Sehingga rakyat juga hidup dengan tenang saat itu. Hal ini dapat terlihat dari keadaan rumah rakyat yang baik, rapi dan juga bersih. Bahkan dilengkapi dengan ubin yang berwarna kuning, dan hijau. Para penduduknya menggunakan kain sampai di bawah lutut. Kehidupan masyarakat di Kerajaan Kediri terbilang tenang dan damai, seni kesusastraannya jauh lebih berkembang dibanding seni sastra. Hal itu dapat dilihat jumlah sastra yang begitu banyak bahkan sampai saat ini. Yakni beberapa sastra yang telah diulas tersebut, dan masih banyak lagi kitab sastra lainnya seperti misalnya kitab Lubdaka dan Wertasancaya dari Mpu Tan Akung, Kitan Kresnayana dari Mpu Triguna serta Kitab Sumanasantaka dari Mpu Monaguna dan Masyarakat Kerajaan KediriMasyarakat di masa Kerajaan Kediri dibagi menjadi tiga kedudukan, diantaranya yaitu Golongan masyarakat pusat atau kerajaan yaitu masyarakat yang ada di dalam lingkungan raja, dan beberapa kerabat yang ada di dalam kelompok masyarakat thani atau daerah yaitu golongan masyarakat yang terdiri dari petugas pemerintahan, atau pejabat yang ada di wilayah thani atau masyarakat non pemerintah yaitu golongan masyarakat yang tidak memiliki kedudukan, dan hubungan dengan pemerintah ataupun masyarakat Kediri memiliki lebih dari 300 pejabat, yang tugasnya yaitu mengurus dan mencatat segala sesuatu penghasilan di dalam kerajaan. Ada juga 1000 pegawai rendahan yang tugasnya yaitu mengurus benteng, parit kota, perbendaharaan Kerajaan serta gedung tempat persediaan makanan. Kerajaan Kediri lahir dari pembagian Kerajaan Mataram, yang dilakukan oleh Raja Airlangga tahun 1000 sampai tahun 1049. Hal itu dilakukan agar tidak terjadi perselisihan, yang dilakukan oleh anak-anak Ekonomi Kerajaan KediriKehidupan perekonomian di Kerajaan Kediri memiliki beberapa jenis usaha seperti perdagangan, pertanian dan juga peternakan yang dikenal sebagai penghasil kapas, beras dan ulat sutra. Hal ini menyebabkan kehidupan ekonomi Kerajaan Kediri terbilang makmur. Hal itu dapat dilihat dari kerajaan yang mampu memberikan penghasilan tetap, untuk para pegawainya berupa hasil bumi. Hal ini juga diperoleh dari keterangan Kitab Chi Fan Chi, dan Kitab Ling Wai Tai Raja Dari Kerajaan kediri1. Airlangga ketika Daha masih menjadi kota yang utuhPendiri Kota Daha adalah pindahan dari Kota Kahuripan, yang turun tahta di tahun 1042. Sehingga kerajaan dibagi menjadi dua. Daha menjadi ibu kota Kerajaan Barat yaitu Panjalu. Menurut Nagarakretagama kerajaan yang dipimpin oleh Airlangga, sebelum dibagi menjadi dua memiliki nama Sri Samarawijaya ketika Daha sudah menjadi Ibu Kota PanjaluSri Samarawijaya merupakan salah satu putra dari Airlangga, yang namanya juga ditemukan pada Prasasti Pamwatan di tahun Sri JayawarsaDilihat dari Prasasti irah Keting tahun 1104, tidak diketahui apakah Sri Jayawarsa merupakan pengganti Sri Samarawijaya atau bukan. Di masa pemerintahannya Jayawarsa memberi hadiah untuk para rakyat di desa, sebagai wujud suatu penghargaan. Karena rakyat sudah berjasa pada raja. Di dalam prasasti tersebut disebutkan juga bahwa Jayawarsa memiliki perhatian yang besar pada rakyatnya, dan ingin membuat rakyat menjadi Sri BameswaraBerdasarkan Prasasti Padelegan di tahun 1117, Prasasti Panumbangan tahun 1120 dan juga Prasasti Tangkilan tahun 1130 menyebutkan raja berikutnya adalah Sri Bameswara. Prasasti-prasasti tersebut juga membahas tentang Sri JayabhayaRaja terbesar di Kerajaan Panjalu berdasarkan Prasasti Ngantang tahun 1135, Prasasti Talan tahun 1136 serta Kakawin Bharatayuddha tahun 1157 adalah Jayabhaya. Kerajaan Kediri mencapai puncaknya di masa pemerintahan Jayabhaya, karena ia memiliki strategi yang bagus dalam memakmurkan rakyatnya. Kerajaan yang beribu kota di Dahono Puro di bawah kaki Gunung Kelud tersebut, memiliki tanah yang subur sehingga segala jenis tanaman bisa tumbuh dengan baik. Hasil pertanian dan perkebunan pun melimpah, selain itu di bagian tengah Kota terdapat aliran sungai yang jernih dan menjadi tempat hidup berbagai jenis ikan. Makanan yang kaya akan protein pun bisa terpenuhi dengan baik. Dukungan spiritual dan material diberikan kepada Prabu Jayabhaya, dengan sifatnya yang merakyat dan tujuan yang jauh ke depan membuatnya dikenal sepanjang Sri AryeswaraBerdasarkan prasasti Angin yang dibuat tahun 1171, ketika itu Kediri diperintah oleh Sri Aryeswara. Ia menjadi raja Kediri sekitar tahun 1171, dan memiliki gelar abhisek yaitu Sri Maharaja Rake Hino Sri Aryeswara Madhusudanawatara Arijamuka. Tetapi tidak diketahui dengan pasti kapan Sri Aryeswara naik tahta, dan peninggalan sejarahnya yaitu Prasasti Angin di tanggal 23 Maret 1171. Lambang Kerajaan Kediri di kala itu adalah Ganesha. Tidak diketahui pasti kapan Sri Aryeswara mengakhiri masa Sri GandaDilihat dari Prasasti Jaring tahun 1181. Pemakaian nama hewan untuk pangkat seperti misalnya gajah, tikus, dan kerbau memperlihatkan tinggi rendahnya pangkat seseorang di dalam istana saat Sri SarwasweraDapat dilihat di Prasasti Padegelan II pada tahun 1159, dan Prasasti Kahyunan di tahun 1161. Sri Sarwaswera adalah raja yang taat beragama dan berbudaya. Ia juga memegang teguh prinsip “tat wam asi”, yang artinya “dikaulah itu, dikaulah semua itu, semua makhluk adalah engkau”. Prabu Sri Sarwaswera berpendapat bahwa tujuan akhir manusia adalah Moksa, yaitu pemanunggalan jiwatma dengan paramatma dan jalan kebenaran merupakan suatu jalan untuk kesatuan sehingga yang menghalangi kesatuan adalah hal tidak Sri KameswaraBerdasarkan Prasasti Ceker di tahun 1182, dan Kakawin Smaradahana. Di masa pemerintahan Sri Kameswara dari tahun 1182, sampai tahun 1185 masehi terjadi perkembangan yang pesat di dalam sastra Mpu Dharmaja. Yang membuat Kitab Smaradhana dan juga dikenal dengan beberapa cerita Panji seperti cerita Panji Sri KertajayaBerdasarkan Prasasti Galunggung tahun 1194, Prasasti Kamulan tahun 1194, Prasasti Palah tahun 1197, Prasasti Wates Kulon tahun 1205, Negarakretagama serta Pararaton. Raja Kertajaya ini dikenal dengan nama Dandang Gendis. Di masa pemerintahannya kerajaan mulai mengalami penurunan, karena Kertajaya mengurangi hak yang dimiliki Kaum Brahmana. Keadaan itu membuat Kaum Brahmana dan kedudukan mereka semakin tidak aman. Sehingga banyak dari mereka yang lari dan meminta pertolongan Tumapel, yang saat itu diperintah oleh Ken Arok. Kemudian Raja Kertajaya menyiapkan pasukan untuk menyerang Tumapel, dan Ken Arok memberi dukungan untuk Kaum Brahmana. Untuk melakukan penyerangan ke Kerajaan Kediri, kedua pasukan itu bertemu di dekat Ganter pada tahun 1222 Kerajaan KediriSetiap kerajaan yang ada di Indonesia memiliki lencananya masing-masing, yang menjadi simbol kekuasaan di masa-masa pemerintahannya. Termasuk di Kerajaan Kediri. Setiap raja memiliki lencana yang berbeda, dengan makna dan pesan yang juga berbeda-beda. Ada tujuh buah lencana yang terdeteksi, yang mewakilkan setiap kekuasaan raja pertama GarudmukhalancanaLencana ini bergambar burung garuda, jauh sebelum NKRI menggunakan lambang garuda tersebut. raja Airlangga adalah pendiri dari Kerajaan Panjalu, yang memakai garuda sebagai lambang lencananya. Pada setiap Prasasti yang ada, selalu dibubuhkan stempel garudamukhalanaca tersebut oleh Airlangga. Yang berada di bagian mulut Gua Selomangleng Kediri. Hingga kini relief tersebut masih dapat kedua BamecwaralancanaLencana berikutnya memiliki lambang tengkorak yang sedang menggigit bulan sabit, yang dipakai sebagai lencana Cri Maharaja Cri Bamecwara Sakalabuanatustijarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama ketiga JayabhayalancanaLencana ini memiliki tanda satu avatara Dewa Wisnu yakni Narasinghavatara, yang memiliki wujud manusia berkepala singa yang sedang mencabik-cabik perut Hiranyakasipu [Raja Raksasa]. Di lencana tersebut terdapat tulisan Panjalu Jayati, yang bentuknya sudah sulit dikenali. Hingga kini disimpan di Musieum Nasional keempat SarwwecwaralancanaLencana keempat dipakai oleh ri Maharaja Rakai Sirikan Cri Sarwwecwara Janarddhanawatara Wijayagrajasama Singhanadaniwaryyawiryya Parakrama Digjayatungga-dewanama. Bila dilihat lagi di dalam lencana tersebut terdapat 9 sayap di bagian ujung, dan ada lingkaran berjambul yang dikelilingi oleh tiga lingkaran yang kelima AryyecwaralancanaLencana ini memiliki lambang ganesha yang digunakan oleh Cri Maharaja Rakai Hino Cri Aryyecwara Madhusudanawatarijaya Mukha, Sakalanhuana tustikarana niwaryya keenam KamecwaralancanaLencana keenam memiliki gambar kerang yang memiliki sayap yang dipakai oleh Cri Maharaja Cri Kamecwara Triwikramawatara Aniwaryyawirya Parakrama ketujuh CrnggalancanaLencana ini dipakai oleh Cri Maharaja Cri Carwwecwara Triwikamawatara Nindita Cringgalancana Digjayotunggadewa atau Kertajaya. Yang menjadi raja terakhir di Kerajaan Beragama Masyarakat KediriCorak kehidupan beragama pada masyarakat Kediri bisa dilihat dari peninggalan arkeologinya, seperti misalnya Candi Gurah serta Candi Tondo Wongso. Yang menunjukkan bahwa latar belakang agama di sana adalah Hindu Siwa. Untuk pertirtaan kepung diperkirakan juga beragama Hindu, karena tidak terlihat unsur Budhaisme pada beberapa peninggalan bangunan bersejarah di sana. Di beberapa prasasti yang ada, juga disebutkan bahwa nama Abhiseka raja memiliki arti penjelmaan dari Dewa Wisnu. Namun hal ini tidak dapat secara langsung digunakan sebagai bukti, bahwa Wisnuisme berkembang di masa itu. Karena landasan filosofis yang berkembang di Jawa pada masa itu, beranggapan bahwa Raja Saa dan Dewa Wisnu adalah pelindung rakyat, raja bahkan dunia. Bila dilihat lagi secara luas, agama Hindu khususnya pemujaan Siwa sangat mendominasi perkembangan agama di masa Kerajaan Kediri. Hal ini bisa dilihat dari prasasti, arca dan penemuan karya sastra jawa Masyarakat Kerajaan KediriPerubahan yang ada di bidang kesenian pada Kerajaan Kediri, hanya terbatas pada kesenian arsitektur. Yang banyak dipertanyakan oleh orang-orang, mengapa di masa Kerajaan Kediri tidak membuat candi seperti di masa-masa sebelum dan sesudahnya. Baru terbukti sekarang bahwa satu per satu kesenian dari Kerajaan Kediri mulai ditemukan. Candi Gurah adalah yang masih tersisa, yang memiliki pelipit sisi genta di kaki Candi Perwara. Sedangkan pada Candi Induk memiliki makara di bagian ujung bawah tangga, dan beberapa ciri itu menunjukkan gaya kesenian Jawa Tengah pada abad ke VII di beberapa arca yang sangat indah, juga memperlihatkan gaya kesenian yang berasal dari Singasari di abad XIII masehi. Perbedaan tersebut belum dapat dijelaskan secara gamblang sampai saat ini. Walaupun Candi Gurah juga pernah diperbesar tetapi di beberapa arca tidak berasal dari tahapan tersebut. terutama pada arca yang telah berumur dan belum juga ditemukan. Dari sumuran Candi telah ditemukan bata yang terinskripsi, dengan seni paleografi dan tulisannya berasal dari abad ke XI – XII masehi. Inkripsi singkat itu dapat digunakan sebagai patokan, dalam menentukan tanggal darii arca Gurah. Soejmono mengatakan bahwa Candi Gurah adalah mata rantai diantara kesenian di Jawa Tengah dan Jawa Kerajaan KediriPada tahun 1222 raja Kertajaya berseteru dengan Kaum Brahmana, kemudian meminta perlindungan pada Ken Arok Akuwu Tumapel, Ken Arok juga memiliki cita-cita untuk membuat Tumapel merdeka dan menjadi daerah bawahan Kerajaan Kediri. Perang Kediri Tumapel terjadi di Desa Ganter, pasukan Ken Arok pun berhasil menghancurkan pasukan Kertajaya. Sehingga Kerajaan Kediri mulai runtuh, dan berbalik menjadi bawahan Tumapel atau Singasari. Setelah Ken Arok berhasil mengalahkan Kertajaya, Kediri pun menjadi di bawah wilayah kekuasaan Singasari. Ken Arok juga mengangkat Jayabhaya, putra Kertajaya untuk menjadi Bupati tahun 1258 Jayabhaya digantikan oleh putranya yang bernama Sastrajaya, kemudian di tahun 1271 Sastrajaya digantikan juga oleh putranya yaitu Jayakatwang. Jayakatwang melakukan pemberontakan pada Singasari, yang dipimpin oleh Ken Arok. Setelah membunuh Kertanegara, Jayakatwang pun membangun ulang Kerajaan Kediri. Tetapi kerajaan itu hanya bertahan 1 tahun saja, karena terjadinya serangan dari gabungan pasukan mongol dan pasukan menantu Kertanegara yaitu Raden ulasan dan pembahasan lengkap mengenai sejarah Kerajaan Kediri. Semoga dapat menambah wawasan anda dalam sejarah kerajaan di Juga Pengertian Teks Laporan Percobaan Ciri, Struktur, Cara Membuat, Dan Contohnya LengkapApa Itu Psikotropika Dan Bahayanya Secara Lengkap KehidupanPolitik Kerajaan Kediri Dalam persaingan antara Panjalu dan Kediri, ternyata Kediri yang unggul dan menjadi kerajaan yang besar kekuasaannya. Raja terbesar dari Kerajaan Kediri adalah Jayabaya (1135-1157). Jayabaya ingin mengembalikan kejayaan seperti masa Airlangga dan berhasil. Panjalu dan Jenggala dapat bersatu kembali. Pada kesempatan kali ini kami akan membahas mengenai Kerajaan Kediri, mulai dari sejarah, perkembangan agama, sampai kehidupan politik di kerajaan ini. Langsung saja … Sejarah Kerajaan KediriRaja-Raja Kerajaan Kediri1. Sri Jayawarsa2. Sri Bameswara3. Prabu Jayabaya4. Sri Sarwaswera5. Sri Aryeswara6. Sri Gandra7. Sri Kameswara8. Sri KertajayaPeninggalan Kerajaan Sebelumnya kerajaan yang dipimpin oleh Airlangga dapat di pecah menjadi Dua bagian Yaitu memiliki nama Panjalu yang terletak di Daha. Kerajaan Janggala terlahir dari pecahan Kerajaan Panjalu atau Kahuripan iyalah kota lama yang ditinggalkan Airlangga yang kemudian dijadikan ibukota Janggala. Wilayah Kerajaan Janggala meliputi di kota Malang, Pasuruan, Surabaya dan sungai Brantas pelabuhan kota Rembang . Sedangkan di kerajaan Panjalu dengan ibukota Daha wilayahnya meliputi Madiun dan Kediri. Batas antara wilayah Panjalu dan Janggala bisa diceritakan dalam prasasti Mahaksubya 1289 yang dirtulis dalam kitab Negara kertagama 1365 M, Calon Arang 1540 M. Raja-Raja Kerajaan Kediri Sebagai kerajaan yang Bisa termasyhur Kediri pernah diperintah oleh delapan raja mulai dari awal berdirinya hingga masa keruntuhan. Dari kedelapan raja-raja yang pernah memerintah hanya Prabu Jayabaya yang mampu mengantarkan kerajaan di Kediri mencapai masa keemasannya. Baca Juga Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno Adapun urutan dari 8 raja Kediri yang pernah berkuasa di zamannya iyalah sebagai berikut 1. Sri Jayawarsa Sejarah ini bisa diketahui dari sebuah prasasti Sirah Keting 1104 M yang mana adalah raja Sri Jayawarsa sangat perhatian terhadap rakyatnya. Hal ini terbukti pada masa pemerintahannya Sri Jayawarsa sering memberikan hadiah terhadap rakyat desa sebagai penghargaan atas jasanya. 2. Sri Bameswara Banyak meninggalkan prasasti-prasasti yang tersebar di daerah Kertosono dan Tulung Agung. Prasasti peninggalan dari raja Sri Bameswara ini lebih banyak memuat hal-hal mengenai keagamaan. Sehingga melalui prasasti ini bisa diketahui kalau keadaan pemerintahannya pada jaman dulu sangatlah baik. 3. Prabu Jayabaya Kerajaan Kediri pernah mengalami masa keemasan pada waktu pemerintahan Prabu Jayabaya. Strategi kepemimpinannya dalam upaya memakmurkan dan mensejahterakan rakyat memang sangat mengagumkan sekali. Sehingga membuat segala macam tumbuhan yang ditanam bisa tumbuh menghijaukan menghasilkan perkebunan dan pertanian melimpah ruah. 4. Sri Sarwaswera Sejarah tentang kerjaan yang di pimpin oleh Sri Sarwaswera ini didasarkan atas prasasti Padelegan II 1159 serta prasasti Kahyunan 1161. Raja Sri Sarwaswera sangat dikenal sebagai raja yang sangat taat beragama serta berbudaya. Menurutnya tujuan akhir dari hidup manusia adalah moksa pemanunggalan jiwatma dan paramatma. Baca Juga Teks Cerita Sejarah 5. Sri Aryeswara Raja Sri Aryeswara merupakan raja Kediri yang berkuasa sekitar tahun 1171, hal ini berdasarkan prasasti Angin 23 Maret 1171. Ganesha merupakan lambang kerajaan di masa pemerintahan raja Sri Aryeswara namun tidak diketahui kapan masa pemerintahannya ini berakhir. 6. Sri Gandra Pada masa pemerintahan raja Sri Gandra ini banyak yang menggunakan nama hewan sebagai gelar kepangkatan seseorang dalam istana. Nama-nama ini menunjukkan tinggi rendahnya pangkat seseorang di istana kerajaan seperti nama gajah, tikus dan kebo. 7. Sri Kameswara Melalui sejarah prasasti Ceker 1182 serta Kakawin Smaradhana bisa diketahui tentang masa kejayaan pemerintahan raja Sri Kameswara. Pada masa pemerintahannya tahun 1182 – 1185 M seni sastra mengalami perkembangan yang sangat pesat. Banyak cerita-cerita rakyat yang sangat terkenal pada masa itu seperti misalnya cerita Panji Semirang. 8. Sri Kertajaya Pemerintahan raja Sri Kertajaya berlangsung dari tahun 1190 – 1222 Masehi yang terkenal dengan nama “Dandang Gendis”. Selama pemerintahan raja Sri Kertajaya kestabilan Kerajaan Kediri selalu menurun karena hubungannya dengan kaum Brahmana semakin kurang bagus. Maka terjadilah perang antara sang raja Sri Kertajaya dengan Ken Arok yang didukung oleh kaum Brahmana. Peperangan ini terjadi sekitar tahun 1222 M di dekat Ganter dengan kemenangan di tangan Ken arok. Peninggalan Kerajaan Ada beberapa jenis-jenis peninggalan dari masa kerajaan Hindu terbesar di Indonesia ini. Peninggalan ini ada yang berupa prasasti dan ada pula yang berupa kitab karya sastra yang sangat terkenal. Adapun peninggalan dari kerajaan Hindu Kediri ini berupa prasasti adalah Turun Hyang 974 Saka/1052 M Banjaran 974 Saka/1052 Padlegan 1038 Saka/1116 Hantang 1057 Saka/1135 M Jaring 1103 Saka/1181 Lawudan 1127 Saka/1205 Pada jaman Kediri kitab karya sastra mengalami suatu perkembangan yang sangat pesat sekali. Sehingga banyak karya sastra yang terkenal yang telah dihasilkan pada masa kerajaan Hindu ini. Baca Juga Kerajaan Mataram Kuno Diantara peninggalan kerajaan yang berupa kitab karya sastra yang sangat terkenal yaitu antara lain adalah Wertasancaya karangan Mpu Tan Akung. Lubdaka karangan Mpu Tan Akung. Smaradhahana gubahan Mpu Dharmaja. Samanasantaka karangan Mpu Monaguna. Kresnayana karangan Mpu Triguna. Gatotkacasraya serta Kitab Hariwangsa gubahan Mpu Panuluh. Baharatayuda gubahan Mpu Sedah dan Mpu Panuluh Semua kitab karya sastra tersebut saling mengajarkan kepada seluruh umat di dunia untuk saling berbuat kebaikan. Karena dengan kebaikan pasti akan tercipta kerukunan dan persatuan umat yang nantinya akan mengarahkan kesatuan bangsa. Ada beberapa jenis peninggalan dari masa kerajaan Hindu terbesar yang ada di Indonesia saat ini. Peninggalan ini ada yang berupa prasasti dan ada pula yang berupa kitab karya sastra yang sangat terkenal. Ada beberapa peninggalan dari kerajaan Hindu Kediri yang berupa prasasti adalah Turun Hyang 974 Saka/1052 M Banjaran 974 Saka/1052Hantang 1057 Saka/1135 M Lawudan 1127 Saka/1205 Jaring 1103 Saka/1181 Padlegan 1038 Saka/1116 Pada jaman Kediri kitab karya sastra mengalami perkembangan yang sangat pesat sekali. Sehingga banyak sekali karya yang sastra terkenal yang telah dihasilkan pada masa kerajaan Hindu ini. Diantara peninggalan kerajaan yang berupa kitab karya sastra yang sangat terkenal itu antara lain adalah Smaradhahana gubahan Mpu Dharmaja. Wertasancaya karangan Mpu Tan Akung. Kresnayana karangan Mpu Triguna. Lubdaka karangan Mpu Tan karangan Mpu Monaguna. Gatotkacasraya serta Kitab Hariwangsa gubahan Mpu Panuluh. Baharatayuda gubahan Mpu Sedah dan Mpu Panuluh Semua kitab karya sastra tersebut saling mengajarkan kepada seluruh umat di dunia untuk selalu saling berbuat kebaikan. Karena dengan kebaikan pasti akan terciptanya kerukunan dan persatuan umat yang nantinya akan mengarah ke kesatuan bangsa. Bangsa yang sukses yaitu bangsa yang dapat menghargai jerih payah rakyatnya sendiri. Demikianlah pembahasan tentang Sejarah Kerajaan Kediri, beserta nama raja-raja kediri dan peninggalan kerajaan kediri. Semoga Bermanfaat, dan Terima Kasih. Salahsatu bentuk peninggalan sistem politik masa penyebaran agama Hindu-Buddha adalah berdirinya berbagai kerajaan Hindu-Buddha. Agar Anda mampu mengidentifikasi perkembangan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia, cermatilah materi berikut ini. 7. Kerajaan Kediri. Kerajaan Kediri merupakan kelanjutan Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur. 100% found this document useful 3 votes11K views5 pagesDescriptionSISTEM PEMERINTAHAN KEDIRICopyright© © All Rights ReservedAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?100% found this document useful 3 votes11K views5 pagesSistem Pemerintahan Kerajaan KediriJump to Page You are on page 1of 5 You're Reading a Free Preview Page 4 is not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.

Dalampelajaran sejarah kelas XI kita belajar tentang kerajaan-kerajaan Hindu-Budha yang pernah berdiri di Indonesia, salah satunya adalah Kerajaan Kediri. Kerajaan Kediri adalah kerajaan besar di Jawa Timur yang berdiri pada abad ke-12 tepatnya pada tahun 1042-1222. Kerajaan ini merupakan bagian dari Kerajaan Mataram kuno.

Sejarah panjang bangsa Indonesia, salah satunya melewati fase masa kerajaan, baik yang bercorak Hindu-Budha ataupun Islam. Nah, salah satu yang terkenal ini adalah Kerajaan Kediri, yang diketahui punya kemajuan dalam bidang hukum dan tata negara serta budaya sastra. Akibat pegelolaan negaranya yang baik, kerajaan ini banyak disebut sebagai negara yang gemah ripah loh jinawi, tentrem karta raharja. Nah, seperti apa sih sejarah dan perkembangan Kerajaan Kediri ini? Berikut adalah ulasan lengkap Kerajaan Kediri yang kami sajikan khusus buat kamu. Check it out! Sejarah Kerajaan KediriLokasi, Letak Geografis, dan peta WilayahSilsilah Raja1. Raja Sri Jayawarsa2. Raja Bameswara3. Raja Jayabaya4. Raja Sri Sarweswara5. Raja Sri Aryeswara6. Raja Sri Ganda7. Raja Sri Kameswara8. Raja Sri KertajayaLencana KerajaanSistem Pemerintahan1. Kitab Undang-undang2. Sistem Peradilan3. Hukum Positif Dan Budaya Simbolik4. Karya di Bidang Hukum Tata NegaraKehidupan di Kerajaan Kediri1. Kehidupan Politik2. Kehidupan Ekonomi3. Kehidupan Agama4. Kehidupan Sosial BudayaMasa KejayaanPenyebab KeruntuhanBukti Sejarah1. Candi Tondowongso2. Candi Panataran3. Candi Gurah4. Candi Mirigambar5. Candi Tuban6. Prasasti Kamulan7. Prasasti Galuggung8. Prasasti Jaring9. Prasasti Panumbangan10. Prasasti Talan11. Prasasti Sirah Keting12. Prasasti Kertosono13 Prasasti Nganthang14. Prasasti Padelegan15. Prasasti Ceker16. Arca Buddha VajrasattvaPeninggalan1. Kitab Baratayudha2. Kitab Sumarasantaka3. Kitab Gatotkacaryasa4. Kitab Smaradhana5. Kitab Kresnayana6. Kitab Hariwangsa7. Kitab Wertasancaya8. Kitab Lubdaka Sumber gambar Lahirnya Kerajaan Kediri tak lepas dari sejarah Kerajaan Medang Kamulan. Kerajaan Kediri merupakan hasil dari perpecahan Kerajaan Medang Kamulan yang dipecah jadi 2 oleh Raja Airlangga. Airlangga sendiri merupakan Raja Medang Kamulan yang naik tahta tahun 1019 Masehi, dengan kondisi kerajaan yang sedang mengalami penurunan. Berkat kearifannya, Medang Kamulan pun berhasil dikembalikan situasinya. Setelah itu, Ibu kota pemerintahan pun dipindah ke daerah Kahuripan dan akhirnya mencapai puncak kejayaan. Menurut berita yang dimuat dalam Serat Calon Arang, di akhir masa kepemimpinannya, Airlangga memindahkan pusat kerajaan ke Kota Daha. Sementara setelah itu ia juga ikut mengundurkan diri dari kerajaan untuk menjadi seorang pertapa yang dikenal dengan nama Resi Gentayu. Penerus tahta kerajaan jatuh ke tangan putrinya yang bernama Sri Sanggramawijaya. Tapi, karena ia juga ingin jadi seorang pertapa, tahta kerajaan akhirnya diperebutkan oleh kedua putranya, yakni Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Untuk menghindari perebutan kekuasaan di internal kerajaan, akhirnya Airlangga memecah Medang Kamulan terlebih dahulu menjadi 2 kerajaan, yakni Jenggala dan Panjalu. Panjalu menjadi wilayah milik Sri Samarawijaya atau Sri Jayawarsa, dengan pusat kota di Daha. Sementara, Mapanji Garasakan memperoleh wilayah di Kota Kahuripan dengan Kerajaan Jenggala. Sebenarnya, tidak ditemui secara pasti mengenai pemecahan kerajaan tersebut. Tapi, berdasarkan Prasasti Babad, disebutkan juga kalau kerajaan dipecah jadi 4 atau 5 bagian. Dalam waktu-waktu berikutnya, hanya menyisakan 2 kerajaan yang kerap disebutkan, yakni Jenggalan dan Panjalu. Upaya Airlangga membagi kekuasaan ini pun kelihatannya menemui kegagalan, sebab kedua kerajaan tetap berseteru setelah itu. Kedua kerajaan terus saling berperang dan saling membunuh satu sama lain. Lama-kelamaan Kerajaan Panjalu berkembang pesat hingga menjadi kerajaan yang besar, sementara Kerajaan Jenggala kian terpuruk oleh keadaannya. Akhirnya, pertempuran tersebut dimenangkan oleh Kerajaan Panjalu di bawah komando Prabu Jayabaya. Dalam perkembangannya, Kerajaan Panjalu ini kemudian lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri. Lokasi, Letak Geografis, dan peta Wilayah Sumber gambar Kerajaan Kediri merupakan sebuah kerajaan bercorak Hindu yang berdiri antara tahun 1042 Masehi hingga 1222 Masehi. Pusat pemerintahannya terletak di Kota Daha, atau yang sekarang menjadi wilayah Kota Kediri. Sebenarnya, nama Daha berasal dari kata Dahanapura, yang diartikan sebagai Kota Api. Penaman ini dapat ditemukan dalam Prasasti Pamwatan yang dibuat Raja Airlangga tahun 1042 Masehi. Sebelum di Daha, pusat kerajaan awalnya berada di Kota Kahuripan. Hal ini sesuai dengan apa yang terpahat dalam prasasti buatan tahun 1042 Masehi dan Serat Calon Arang. Silsilah Raja Sumber gambar Kediri, tidak pernah diperintah oleh delapan orang raja dari awal hingga akhir sejarahnya. Puncak kejayaannya terjadi pada saat Raja Jayabaya memimpin kerajaan. Nah, dengan sistem pemerintahan monarki, tonggak kekuasaan di Kediri mengalami beberapa kali perpindahan. Berikut ini adalah raja-raja yang pernah berkuasa di Kediri. 1. Raja Sri Jayawarsa Raja Jayawarsa mulia memimpin Kediri pada tahun 1104 Masehi. Semasa berkuasa, ia dianugrahi gelar Sri Maharaja Jayawarsa Digja Sastraprabhu. Tidak ditemukan bukti pasti kapan Raja Sri Jayawarsa ini naik singgasana, begitu juga kapan turun tahtanya. Sebab, Prasasti Panumbangan yang dibuat tahun 1120 Masehi hanya menyebutkan upacara pemakamannya saja yang berlokasi di Gajapada. 2. Raja Bameswara Nama Raja Bameswara banyak disebutkan dalam prasasti yang ditemukan di Tulungagung. Selain di daerah tersebut, prasasti-prasasti ini ternyata juga banyak terdapat di Kertosono. Sebagian besar prasasti ini bertema tentang keagamaan, sehingga memudahkan para peneliti dalam menyimpulkan corak pemerintahan Bameswara. Era kepemimpinannnya terjadi pada tahun 1117-1135 Masehi. 3. Raja Jayabaya Titik puncak kejayaan Kediri, terjadi pada masa pemerintahan Jayabaya. Selama memerintah pada tahun 1135-1157 Masehi, banyak golongan cendikiawan yang mendampingi kepemimpinannya. Misalnya saja ada Mpu Panuluh, Triguna, Sedah, Darmaja, dan Manoguna. Era kecemerlangan ini bisa dijumpai dalam kitab hukum Kakawih Baratayudha, Hariwangsa, dan Gathotkacasarya. Strateginya yang terbilang cukup jitu, membuktikan bahwa Jayabaya berhasil membawa rakyatnya ke dalam kesejahteraan dengan tanah yang subur dan hasil panen yang melimpah. 4. Raja Sri Sarweswara Pada rahun 1159-1161 Masehi, Kerajaan Kediri diperintah oleh Raja Sri Sarweswara. Beliau dikenal sebagai sosok yang teguh memegang prinsip agama serta budaya, seperti ajaran tat wam asi, yang artinya “Engkaulah itu, engkaulah seuanya itu, semua makhluk adalah engkau. 5. Raja Sri Aryeswara Sri Aryeswara disinyalir berkuasa di Kediri pada tahun 1171 Masehi, sesuai informasi sejarah yang terdapat pada Prasasti Angin. Belum ditemukan bukti pasti, kapan ia naik singgasana, begitu juga kapan berakhirnya. Pada era kekuasaan Sri Aryewara inilah, simbol kerajaan secara resmi menggunakan lambang Ganesha. 6. Raja Sri Ganda Berdasarkan penemuan Prasasti Jaring yang dibuat tahun 1181 Masehi, disebutkan kalau Raja Sri Ganda memimpin Kediri di sekitar tahun tersebut. Lewat informasi prasasti itu juga, diketahui bahwa istilah-istilah penyebutan pejabat tinggi kerajaan memakai nama-nama hewan. 7. Raja Sri Kameswara Selanjutnya, pada tahun 1182-1185 Masehi, giliran Sri Kameswara yang berkuasa. Pada era kepemimpinan ini, budaya senin sastra terbilang cukup pesat berkembang. Sastrawan yang terkenal pada masa ini contohnya adalah Mpu Dharmaja dengan karyanya, Samaradha. 8. Raja Sri Kertajaya Sri Kertajaya adalah raja terakhir yang memimpin Kerajaan Kediri. Ia berkuasa selama 32 tahun, yakni pada 1190-1222 Masehi. Di era kekuasaannya, stabilitas kerajaan mulai menurun karena ia mulai mengurangi hak-hak yang harusnya diberikan pada para brahmana. Nah, karena merasa kedudukannya sudah tidak aman lagi, para brahmana ini lari ke daerah Tumapel dengan meminta perlindungan Ken Arok. Berawal dari sinilah tumbangnya kekuasaan Sri Kertajaya dan menjadi akhir bab riwayat Kerajaan Kediri. Lencana Kerajaan Sumber gambar Pada zaman dahulu, menjadi sebuah kelaziman apabila setiap kerajaan atau raja mempunyai lencana sebagai lambang kekuasaannya. Setiap lencana memiliki bentuk yang berbeda-beda sebagai representasi sang empunya. Dalam kisah ini, setidaknya ada 7 macam lencana yang pernah digunakan oleh pemimpin Kerajaan Kediri. Saat ini, lencana-lencana tersebut disimpan di dalam Museum Airlangga dan tempat-tempat lainnya. Berikut ketujuh lencana tersebut. 1. Garudha Mukha Lancana Lencana ini digunakan oleh Sri Maharaja Airlangga. Di permukaannya terdapat gambar garuda, yang juga ditemui dalam prasasti-prasasti yang dibuat pada era kekuasaannya. 2. Bamecwara Lancana Lencana ini dipakai oleh Raja Bameswara. Pada lencana ini, terdapat gambar tengkorak yang menggigit bulan sabit. 3. Jayabhaya Lancana Selanjutnya, lencana ini digunakan oleh Jayabaya. Wujudnya berupa manusia berkepala singa, yang menggigit perut Hiranyakasipu, yang merupakan simbol raja raksasa. Lencana ini bisa dijumpai di Prasasti Hantang, tahun 1135 Masehi. 4. Sarwwecwara Lancana Lencana ini digunakan pada masa kekuasaan Raja Sarweswara. Sayangnya, bentuk lencana ini cukup sulit dikenali karena fisiknya yang sudah rusak. Jika diperhatikan, gambar pada lencana mirip sembilan sayap yang dikelilingi 3 bulatan bergaris. Di bagian ujung sayap-sayap tersebut juga tergambar jambul lingkaran. 5. Aryyecwara Lancana Lencana ini bergambar Ganesha yang dipakai pada zaman kekuasaan Raja Aryeswara. Sementara pada pahatannya, terdapat Prasati Mleri 1169 Masehi dan Prasasti Angin 1171 Masehi. 6. Kamecwara Lancana Lencana ini dikeluarkan pada masa pemerintahan Raja Kameswara. Pada Prasasti Semanding 1182 Masehi, diketahui terdapat pahatan lencana ini juga. 7. Crngga Lancana Yang ini digunakan pada era kekuasaan Kertajaya. Di awal masa pemerintahannya, gambar lencana diisi oleh dua tanduk yang mengapit dua cangka, lalu disambung dengan tulisan “Kertajaya” di atasnya. Pola ini kemudian berubah jadi tanduk yang menghimpit kotak miring berlipat dan dikelilingi sayap. Sistem Pemerintahan 1. Kitab Undang-undang Sumber gambar Untuk membuat kitab undang-undang kerajaan, para ahli hukum negara ditunjuk oleh pemerintah untuk bergabung ke dalam Dewan Kapujanggan Istana. Pada proses penyusunannya, para anggota dewan ini sering mengadakan studi banding ke negeri lain. Lalu dihasilkanlah kitab undang-undang yang dinamakan Kitab Dharmaparaja, yang isinya berupa tata tertib penyelengaraan pemerintah dan negara. Di dalamnya juga ada tata kelola hukum pidana dan perdata, walau pada zaman itu belum terperinci secara jelas perbedaan kedua hukum ini. 2. Sistem Peradilan Sumber gambar Hukum peradilan yang berlaku di Kerajaan Kediri punya tujuan untuk mencapai kepastian hukum, sehingga hak dan kewajiban rakyatnya bisa dijamin oleh pemerintah. Semua pejabat dan rakyat, dituntut untuk tunduk dan menghormati undang-undang yang berlaku. Semua keputusan pengadilan dikembalikan atas nama raja, yang diistilahkan dengan nama Sang Amawabhumi. Dua orang Adidarma Dyaksa ditugaskan untuk membatu raja dalam hal peradilan. Yang pertama, Adidarma Dyaksa Kasiwan bertugas sebagai kepala agama Siwa. Yang kedua, Adidarma Dyaksa Kabudan ditugaskan bekerja sebagai kepala agama Budha. Pengelompokan ini terjadi karena memang kedua agama inilah yang dianut oleh masyarakat Kerajaan Kediri dan undang-undang negara didasarkan pada agama. Kedua Adidarma Dyaksa ini kedudukannya setara dengan Hakim Tinggi dan dibantu oleh 5 orang Upapati atau Pamegat atau Hakim di dalam pengadilan. Adidarma Dyaksa dan Pamegat ini sama-sama diberi gelar Sang Maharsi. Lima orang Pamegat ini terdiri dari Tirwan, Maghuri, Kandamuhi, Pamotan, dan Jambi. Kelima pamegat ini adalah golongan kasiwan, karena agama siwa adalah agama resmi kerajaan. Pada era kekuasaan Jayabaya, ada penambahan 2 orang Upapati yang berasal dari golongan Kabudan, sehingga formasi nya terdiri dari 5 Upapati Kasiwan dan 2 Upapati Kabudan. Kedua Upapati Kabudan ini adalah Kandangan Rare dan Kandangan Tuha. Di bidang peradilan, kerajaan langsung bertanggung jawab kepada raja. Tapi untuk sengketa di internal keluarga raja, dipakai lembaga peradilan khusus untuk menghindari intervensi terhadap keputusan sidang. Untuk hal ini, raja mempunyai staff khusus yang sudah dipercaya kapasitas, integritas, dan kredibilitasnya. 3. Hukum Positif Dan Budaya Simbolik Sumber gambar Pada masa kepemimpinan Jayabaya, tata pelaksanaan negara memiliki dua prinsip, yakni dengan menerapkan hukum positif dan budaya simbolik. Hukum positif berlaku dengan dasar kesepakatan bersama, tertulis, serta bersifat mikro. Di bidang politik, ekonomi, organisasi, birokrasi, karier, perdagangan dan perkawinan juga diatur hukum positif dalam kerangka tertulis. Pelanggaran terhadap hukum ini akan diberi sangsi yang tegas berdasarkan hukum yang berlaku. Tapi, Raja Jayabaya merasa ini saja tidak cukup. Atas dasar analisa bahwa tidak semua lapisan masyarakat mengerti hukum positif ini dengan baik, khususnya kalangan awam, raja pun meminta diterapkan pendekatan simbolik. Bagi pelanggarnya, akan diberi sangsi yang tegas berupa hukuman yang dijatuhkan secara ghaib. Hasilnya pun cukup memuaskan, sebab masyarakat percaya terhadap nasihat-nasihat tersebut dan mau menjauhi larangannya. Di antara pujangga tersebut adalah Mpu Panuluh dan Mpu Sedah. Mpu Sedah, selain menulis buku pendekatan simbolik tersebut, juga menghasilkan karya lain yang berjudul Kakawin Bartayudha di tahun 1079 saka, bertepatan dengan 1157 Masehi. Tapi, sayangnya, sebelum buku ini rampung, ia sudah meninggal lebih dulu. Akhirya, Kakawin Baratayudha inipun dipersembahkan bagi Prabu Jayabaya, Mapanji Jayabaya, dan Jayabaya Laksana sebagai kenang-kenangan. Sebenarnya, pendekatan simbolik ini dibuat sebagai strategi untuk memecahkan ketimpangan yang terjadi di tengah masyarakat Kediri, karena tingkat kecerdasan nya pun berbeda. 4. Karya di Bidang Hukum Tata Negara Sumber gambar Pada era kekuasaan Prabu Jayawarsa, perkembangan ilmu hukum dan tata praja mendapat dukungan penuh. Cendekiawan mendapat biaya dan fasilitas yang cukup memadai untuk menggali idealismenya dalam memikirkan kerbelangsungan kerajaan. Salah satunya adalah Mpu Triguna dan Mpu Manoguna yang dirangkul Raja Jayawarsa menjadi penasihat kerajaan. Sesuai ulasan di atas, Mpu Triguna melahirkan Kakawin Kresnayana yang membahas bidang hukum dan tata praja. Sementara, Mpu Manoguna juga memiliki Kakawin Sumanasantaka. Isinya membahas tema yang disari dari Kitab Raguwangsa karya pujangga terkenal di India, Sang Kalisada. Pada era puncaknya, di era kepemimpinan Prabu Jayabaya, Kerajaan Kediri meraih kejayaan khususnya di bidang kehidupan sosial dan tata negara. Hariwangsa, Gatotkacasraya, dan Kakawih Baratayudha merupakan kitab-kitab yang berisi tentang tata kelola negara. Selain itu, ada juga Kitab Darmapraja, yang isinya membahas tata kelola penyelenggaraan negara dan pemerintah. Untuk membahas hukum tata praja, ada judul Kakawih Bomakawya dan Kakawih Smaradahana yang disusun oleh Mpu Dharmaja. Nah, aturan dan undang-undang yang cukup populer di Kediri antara lain berkaitan dengan 8 kejahatan, 8 penyimpangan administratif, pegadaian, perdagangan, serta hak dan kewajiban rakyat biasa. Kehidupan di Kerajaan Kediri 1. Kehidupan Politik Sumber gambar Sejarah Kerajaan Kediri tak jauh dari pergolakan perang dan perebutan kekuasaan. Pada masa kekuasaan Sri Maharaja Samarotsaha, dimulai pertempuran antara Panjalu dan Jenggala. Perang terus berlanjut sampai era kepemimpinan Raja Bameswara. Nama Kerajaan Kediri, mulai banyak disebut setelah terjadi perpidahan ibukota dari Daha ke Kediri. Setelah Bameswara turun tahta, lahirlah sosok Prabu Jayabaya yang kemudian berhasil menaklukkan Kerajaan Jenggala. Setelah memenangkan perang yang berlangsung puuhan tahun, kondisi kerajaan mulai membaik di bawah kekuasaannya. 2. Kehidupan Ekonomi Sumber gambar Perekonomian Kerajaan Kediri ditopang oleh beberapa sektor, seperti peternakan, pertanian, dan perdagangan. Pusat kerajaan yang terletak di Kota Daha, tepatnya di bawah kaki Gunung Kelud, membuat hasil perkebunan dan pertanian melimpah ruah. Ini tak lepas dari fakta bahwa kawasan tersebut memiliki tanah yang subur akibat erupsi Gunung Kelud. Hasil utama dari sektor pertanian adalah berupa beras, yang banyak yang diekspor ke Jenggala, dekat Surabaya, dengan transportasi perahu sungai. Kerajaan Kediri juga merupakan pusat penghasil kapas dan budidaya ulat sutra. Sementara, dari sektor perdagangan, warga setempat banyak menjual emas, perak, daging, dan kayu cendana. Dari parameter ini, bisa dikatakan masyarakat setempat sudah hidup makmur dan sejahtera pada masanya. Sehingga, tak ayal membuat Kerajaan Kediri pun layak menyandang predikat negara yang gemah ripah loh jinawi, tentrem karta raharja. Tingkat kesejahteraan ini juga bisa diukur dari kebijakan kerajaan untuk memberikan penghasilan tetap kepada para pejabatnya dalam bentuk hasil bumi. Informasi sejarah ini didapatkan dari catatan sejarah dalam Kitab Ling wai tai ta dan Kitab Chi Fan Chi. Sebagai bentuk penghasilan kerajaan, diberlakukan pemungutan pajak di seluruh wilayah kekuasaan, antara lain dibayar dalam bentuk beras, palawija, atau kayu. 3. Kehidupan Agama Sumber gambar Agama yang berkembang dan tersebar di Kerajaan Kediri adalah Agama Hindu aliran Waisnawa, yang percaya bahwa Airlangga merupakan titisan Dewa Wisnu. Di berbagai wilayah terdapat tempat ibadah yang banyak jumlahnya. Seseorang yang berperan sebagai guru kebatinan memiliki tempat terhormat di kalangan masyarakat, termasuk dari pejabat kerajaan. Sumber sejarah juga menyebutkan, kalau Prabu Jayabaya merupakan seorang raja yang rajin bersemedi, bertapa, dan tirakat di daerah yang sepi seperti di hutan. Aktifitas ini sudah menjadi rutinitasnya sehari-hari, dengan melakukan banyak puasa dan mengurangi waktu tidur selama tirakat. Dukungan spiritual ini makin ditingkatkan selama era kepemimpinannya demi mendukung keberlangsungan hukum dan pemerintahan. Sifatnya yang dermawan serta bijaksana, makin menempatkannya menjadi orang yang disanjung di tengah-tengah kehidupan rakyatnya. Khusus untuk mengatur kehidupan beragama ini, sudah di tata dalam undang-undang khusus. Berikut adalah isi hukum perundang-undangan tersebut. Bab I Sama Beda Dana Denda, berisi mengenai ketentuan diplomasi, aliansi, konstribusi dan sanksi. Bab II Astadusta, berisi mengenai sanksi delapan kejahatan penipuan, pemerasan, pencurian, pemerkosaan, penganiayaan, pembalakan, penindasan dan pembunuhan Bab III Kawula, berisi mengenai hak-hak dan kewajiban masyarakat sipil. Bab IV Astacorah, berisi mengenai delapan macam penyimpangan administrasi kenegaraan. Bab V Sahasa, berisi mengenai sistem pelaksanaan transaksi yang berkaitan pengadaan barang dan jasa. Bab VI Adol-atuku, berisi mengenai hukum perdagangan. Bab VII Gadai atau Sanda, berisi mengenai tata cara pengelolaan lembaga pegadaian. Bab VIII Utang-apihutang, berisi mengenai aturan pinjam-meminjam Bab IX Titipan, berisi mengenai sistem lumbung dan penyimpanan barang. Bab X Pasok Tukon, berisi mengenai hukum perhelatan. Bab XI Kawarangan, berisi mengenai hukum perkawinan. Bab XII Paradara, berisi mengenai hukum dan sanksi tindak asusila. Bab XIII Drewe kaliliran, berisi mengenai sistem pembagian warisan. Bab XIV Wakparusya, berisi mengenai sanksi penghinaan dan pencemaran nama baik. Bab XV Dendaparusya, berisi mengenai sanksi pelanggaran administrasi Bab XVI Kagelehan, berisi mengenai sanksi kelalaian yang menyebabkan kerugian publik. Bab XVII Atukaran, berisi mengenai sanksi karena menyebarkan permusuhan. Bab XVIII Bumi, berisi mengenai tata cara pungutan pajak Bab XX Dwilatek, berisi mengenai sanksi karena melakukan kebohongan publik. 4. Kehidupan Sosial Budaya Sumber gambar Kehidupan masyarakat Kerajaan Kediri bisa dibilang sangat teratur saat itu. Dalam kesehariannya, mereka sudah terbiasa memakai kain hingga di bawah lutut serta rambut yang diurai. Kondisi rumah pun dijaga sebisa mungkin untuk tetap rapi dan bersih. Dalam hal perkawinan, mempelai perempuan mendapatkan mas kawin berbentuk emas. Saat sakit pun, orang akan berdo’a mengharap untuk disembuhkan oleh Buddha dan dewa. Seperti yang tertera dalam Kitab Lubdaka, perhatian raja terhadap rakyatnya cukup tinggi. Derajat seseorang pun diukur dari tingkah laku dan moralnya dalam keseharian, bukan pada harta dan pangkatnya. Mereka juga diberi kebebasan untuk beraktifitas apapun selama mereka suka dan tidak melanggar peraturan dan norma-norma kerajaan. Istimewanya, karya sastra yang lahir di era Kerajaan Kediri ini perkembangannya cukup pesat. Jumlahnya saja sudah tak terhitung berapa banyaknya, dengan beragai tema yang diangkat. Misalnya saja, Mpu Sedah diperintahkan untuk mengalih-bahasakan Kitab Bharatayuda menjadi Bahasa Jawa kuno. Sayangnya perintah ini tidak rampung dikerjakan, karena Mpu Sedah sudah meninggal. Pekerjaan ini kemudian dilanjutkan oleh Mpu Panuluh hingga tugas penerjemahan ini selesei. Dalam Kitab Bharatayuda ini, nama Raja Jayabaya banyak disebutkan sebagai bentuk penghormatan. Selain itu, Mpu Panuluh juga menulis kitab sastra lainnya yang diberi judul Hariwangsa dan Gatotkacasraya. Kegemilangan budaya sastra ini berlnjut hingga kekuasaan Raja Kameswara. Di antara karya sastra yang lahir di eranya adalah Kitab Wertasancaya ditulis oleh Mpu Tan Akung, mengulas tata cara besyair dengan benar. Kitab Smaradhahana digunah oleh Mpu Dharmaja, yang isinya berupa sanjungan untuk raja. Dalam kitab ini pula, diceritakan bahwa ibu kota kerajaan terletak di Dahana. Disebutkan juga jika raja adalah titisan Dewa Kama Kitab Lubdaka ditulis oleh Mpu Tan Akung, isinya mengisahkan Lubdaka, yang seharusnya dijebloskan ke neraka. Tapi karena luar biasanya pemujaan sang pemburu ini, rohnya pun diangkat ke surga oleh dewa. Tak hanya itu, karya sastra lain yang juga lahir di zaman Kerajaan Kediri adalah Kitab Kresnayana ditulis oleh Mpu Triguna, berisi cerita tentang anak nakal bernama Kresna, tapi tetap disayangi karena sifatnya yang suka menolong setiap orang dan sakti mandraguna. Pada akhirnya, Kresna menjalin hubungan pernikahan dengan Dewi Rukmini. Kitab Samanasantaka isinya mengisahkan Bidadari Harini, yang ditulis oleh Mpu Managuna. Bukan hanya pada lembar-lembar kitab, budaya sastra yag hidup pada zaman Kerajaan Kediri ini juga bisa dijumpai pada relief candi. Seperti relief Candi Jago yang bercerita tentang Krenayana, sekalian juga dengan relief Kunjarakarna dan Parthayajna. Masa Kejayaan Sumber gambar Puncak keemasan Kerajaan Kediri, terjadi saat Raja Jayabaya berkuasa. Pada era kepemimpinannya, kekuasaan Kerajaan Kediri meluas sampai hampir ke seluruh penjuru Pulau Jawa. Pengaruh Kerajaan Kediri juga sampai ke Sumatra, yang saat itu sedang di bawah kendali Kerajaan Sriwijaya. Di tangannya pula, Kerajaan Jenggala berhasil ditaklukkan dan disatukan dengan Kerajaan Panjalu jadi Kerajaan Kediri. Sejarah kemenangan ini bisa ditemui pada Prasasti Ngatan 1135 Masehi. Fase kegemilangan ini makin diperkuat dengan catatan Chou Ku-fei di tahun 1178 Masehi, seorang kronik Cina, yang menyebutkan Kerajaan Kediri yang kaya raya dan sejahtera di bawah kepemimpinan Raja Jayabaya. Dengan kewibawaannya, ia berhasil membawa Kerajaan Kediri dalam puncak kejayaan, dengan kondisi kehidupan masyarakat yang aman dan sejahtera. Cita-cita negara pun terwujud, dengan menjadi negara yang Gedhe Obore, Padhang Jagade, Dhuwur Kukuse, Adoh Kuncarane, Ampuh Kawibawane. Tak ayal, rakyat pun merasakan kenikmatan luar biasa dengan keadaan negara yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja yang artinya negara penuh dengan kekayaan alam melimpah, dan kehidupan aman dan sejahtera. Prabu Jayabaya memiliki konsep kepemimpinan Saptawa pada masa itu, yakni wisma papan, wastra sandang, wareg pangan, waras kesehatan, wasis [endidikan, wocaksana kebijaksanaan, dan waskita kerohanian. Selain soal kekuasaan dan kesejahteraan, Kerajaan Kediri pun cukup disanjung karena memiliki budaya satra yang kuat. Penyebab Keruntuhan Sumber gambar Kemunduran Kerajaan Kediri mulai dialami pada saat Raja Kertajaya memerintah. Pada tahun 1222 Masehi, terjadi perselisihan antara Prabu Kertajaya dan kaum brahmana. Saat itu, hak-hak para brahmana mulai dicabut, sehingga menyebabkan keberadaan para brahmana ini sudah tak aman lagi di kerajaan. Lalu, mereka melarikan diri ke Tumapel dan meminta bantuan Ken Arok. Mengetahui hal ini, Kertajaya segera mengutus bala tentara untuk menyerbu Tumapel. Sementara, di lain pihak, Tumapel mendapat dukungan penuh dari para brahmana untuk menyerang balik Kerajaan Kediri. Akhirnya, kedua pasukan berperang di dekat Genter, Malang dan peperangan dimenangkan pihak Tumapel. Sayangnya, saat itu Prabu Kertajaya berhasil lari meloloskan diri. Begitulah akhir riwayat Kerajaan Kediri yang jatuh dalam genggaman Kerajaan Tumapel. Mulai saat itu, berdirilah Kerajaan Singasari bersama Ken Arok sebagai pendirinya sekaligus raja pertamanya. Bukti Sejarah Sumber gambar Bukti keberadaan Kerajaan Kediri cukup banyak ditemukan. Setidaknya ada 16 sumber sejarah, mulai dari candi, prasasti, dan arca yang bisa dipakai sebagai rujukan dalam mendalami sejarah Kerajaan Kediri. Berikut adalah ulasan lengkap nya. 1. Candi Tondowongso Situs sejarah di Desa Gayam, Gurah, Kediri ini tergolong dalam penemuan baru, karena keberadaannya baru diketahui pada tahun 2007 silam. Kawasan candi seluas 1 hektar ini diperkirakan dibuat pada abad ke-9 Masehi dan menjadi penemuan terbesar dalam 30 tahun terakhir perihal peninggalan kerajaan Indonesia. Penemuan ini dipercaya menjadi bukti sejarah keberadaan Kerajaan Kediri pada masa awal abad ke-11. Pada fase itu, terjadi perpindahan ibu kota kerajaan, dari wilayah Jawa Tengah, beralih ke kawasan Jawa Timur. Hal ini bisa diketahui berdasarkan identifikasi bentuk arca dan tatanan lengkapnya. 2. Candi Panataran Candi yang juga dinamakan Candi Palah ini, lokasinya ada di Lereng Gunung Kelud, Blitar. Area yang dibangun pada abad ke 12-14 Mashei ini, dulunya dipakai untuk melakukan pemujaan kepada dewa supaya dihindarkan dari bahaya letusan Gunung Kelud. 3. Candi Gurah Candi ini ditemukan tahun 1957 di Desa Gurah, Kediri dan hanya berjarak 2 km dari Candi Tondowongso. Karena itulah, ada dugaan kalau kedua candi ini sebenarnya terletak dalam satu komplek. 4. Candi Mirigambar Candi Mirigambar lokasinya ada di Desa Mirigambar, Sumbergompol, yang dibuat antara tahun 1214-1310 Saka Seperti candi Jawa pada umumnya, candi ini juga disusun dengan dari batu bata merah. 5. Candi Tuban Candi ini terletak sekitar 500 meter saja dari lokasi Candi Mirigambar. Sayangnya, kondisi candi Tuban sudah mengalami kerusakan dan tidak bisa dibangun lagi karena tertimbun tanah. Situs bersejarah ini ditemukan tahun 1967, tepat sekitar gelombang tragedi 1965 terjadi di Tulungagung. Saat itu, terjadi aksi penghancuran ikon-ikon budaya dan benda berhala, yang dikenal sebagai Aksi Ikonoklastik. Candi Mirigambar sendiri selamat dari aksi ini, sebab pejabat setempat tidak memperbolehkan area tersebut dihancurkan, selain juga karena tempatnya yang dikenal angker. Lalu, Candi Tuban lah yang menjadi target berikutnya, hingga menyisakan bagian kaki candi saja. Setelah dirusak, candi ini lalu dipendam dan bagian atasnya dijadikan kandang ternak bebek, ayam, dan kambing oleh warga setempat. Sebetulnya, jika warga mau menggali tanah tersebut sedalam 1 meter saja, diyakini pondasi candi masih bisa ditemukan dalam kondisi yang relatif utuh. 6. Prasasti Kamulan Prasasti yang terletak di Desa Kamulan, Trenggalek ini dibuat pada tahun 1194 Masehi, pada masa pemerintahan Raja Kertajaya. Situs bersejarah ini menceritakan adanya serangan kerajaan timur ke Kediri pada tanggal 31 Agustus 1194 Masehi. 7. Prasasti Galuggung Prasasti ini berada di Desa Rejotangan, Tulungagung dengan besar 160x80x75 centimeter. Sayangnya, kondis prasasti yang memakai aksara Jawa kuno ini sudah rusak dan beberapa tulisannya sudah lapuk termakan umur sehingga sulit dibaca. Secara keseluruhan, terdapat 20 baris tulisan yang ada dalam prasasti ini. Di sisi lain, juga ada tulisan 1123 C. 8. Prasasti Jaring Isinya menceritakan dikabulkannya permohonan warga Dukuh Jaring, yang tidak dikabulkan oleh raja sebelumnya. Prasasti ini dibuat di tahun 1181 Masehi. 9. Prasasti Panumbangan Prasasti ini dibuat pada tanggal 2 Agustus 1120 Masehi, pada masa pemerintahan Maharaja Bameswara. Isinya menceritakan keputusan raja yang membebaskan pajak untuk warga Panumbangan. 10. Prasasti Talan Prasasti ini ditemukan di Desa Gurit, Blitar Situs sejarah yang dibuat pada tahun 1136 Masehi ini bercerita tentang keputusan raja yang membebaskan pajak bagi warga Talun. 11. Prasasti Sirah Keting Isinya berupa tanda penghargaan bagi rakyatnya yang berjasa kepada Kerajaan Kediri. Prasasti ini dibuat pada masa kekuasaan Raja Jayawarsa. 12. Prasasti Kertosono Prasasti yang asalnya dari jaman Raja Kameshwara ini, isinya bercerita tentang problematika agama dan spiritual yang terjadi pada saat itu. 13 Prasasti Nganthang Prasasti ini menceritakan tentang keputusan raja dalam membebaskan pembayaran pajak bagi warga Nganthang. Hanya saja, atas permohonan warga, isi prasasti ini kemudian disalin ke atas lembaran daun lontar. 14. Prasasti Padelegan Prasasti ini bercerita tentang rakyat Padelegan yang setia kepada Raja Prabu Kameshwara. Kini, prasasti ini jadi koleksi Museum Panatara, Blitar. 15. Prasasti Ceker Karena warga Desa Ceker berjasa kepada kerajaan, sang raja menghadiahkan prasasti ini kepada mereka. 16. Arca Buddha Vajrasattva Diperkirakan, arca ini dibuat pada abad ke 10 atau 11 Masehi. Saat ini, Arca Buddha Vajrasattva menjadi bagian koleksi Museum fur Indische Kunst, Jerman. Peninggalan 1. Kitab Baratayudha Sumber gambar Kitab ini merupakan karya Mpu Sedah, yang kemudian dilanjutkan oleh Mpu Panuluh karena Mpu Sedah meninggal terlebih dahulu sebelum kitab ini rampung dikerjakan. Isinya menceritakan perjuangan Kerajaan Panjalu dalam pertempuran melawan Kerajaan Jenggala, yang akhirnya dimenangkan oleh Raja Jayabaya dari Panjalu. Alur cerita dalam kitab ini, memakai perumpamaan peperangan Pandawa dan Kurawa. 2. Kitab Sumarasantaka Sumber gambar Isinya bercerita tentang seorang bidadari bernama Harini, yang diusir dari kayangan akibat dosa yang ia perbuat. Kitab ini adalah karya Mpu Monaguna. 3. Kitab Gatotkacaryasa Sumber gambar Kitab ini menceritakan perjuangan Arjuna dalam membebaskan putraya bersama Siti Sudhari, yang bernama Abimanyu. 4. Kitab Smaradhana Sumber gambar Isinya berisi kisah suami istri yang secara misterius lenyap dari muka bumi akibat terkena api dari ata ketiga Dewa Siwa. Kitab ini disusun oleh Mpu Dharmaja. 5. Kitab Kresnayana Sumber gambar Isinya menceritakan seorang anak yang berhati lembut dan memiliki kesaktian aji mandraguna bernama Kresna. Kitab ini disusun oleh Mpu Triguna. 6. Kitab Hariwangsa Sumber gambar Kitab ini menceritakan sosok bernama Kresna, yang juga menjadi tokoh dalam Kitab Kresnayana. Pada kitab ini, Kresna diceritakan menculik Dewi Rukmini pada malam sebelum ia menikah dengan Prabu Bismaka. 7. Kitab Wertasancaya Sumber gambar Kitab ini berisi tata cara membuat syair dengan baik. Kitab ini adalah karya Mpu Tan Akung. 8. Kitab Lubdaka Sumber gambar Kitab ini juga disusun oleh Mpu Tan Akung. Isinya menceritakan seorang pemburu yang bernama Lubdaka, yang seharusnya masuk ke neraka. Tapi karena pemujannya yang sangat setia, akhirnya ia diangkat oleh dewa untuk masuk ke surga. Itu tadi sejarah lengkap Kerajaan Kediri yang ternyata punya berbagai kisah menarik di dalamnya. Nah, kalau kamu ada pertanyaan seputar Kerajaan Kediri atau kerajaan di Indonesia lainnya, bisa menuliskan comment di bawah. Jangan lupa like dan share artikel ini ya, supaya teman-temanmu banyak yang tahu bagaimana serunya sejarah Kerajaan Kediri ini.
KerajaanKediri terletak di sekitar Kali Berantas,Jawa timur. Kerajaan Kediri Berjaya pada pemerintahan Raja Kameswara yang bergelar Sri Maharaja Sirikan Kameswara. Kameswara meninggal pada tahun 1130. Penggatinya adalah Jayabaya. Jayabaya adalah raja terbesar Kediri, Ia begitu terkenal karena ramalannya yang disebut Jangka Jayabaya.

- Kerajaan Kediri merupakan salah satu kerajaan bercorak Hindu yang pernah berdiri di wilayah Jawa Timur. Dalam catatan sejarah, Kerajaan Kediri juga disebut dengan nama Kerajaan Kadiri, Daha, dan juga Mengapa Karya Sastra Kerajaan Kediri dan Majapahit Berkembang Pesat? Kerajaan Kediri berpusat di Daha atau Dhanapura sekarang dikenal dengan Kota Kediri. Baca juga Petirtaan Kuno Era Kerajaan Kediri Ditemukan di Desa Menang, Awalnya Dikira Cuma Saluran Air Sejarah Berdirinya Kerajaan Kediri Veni Rosfenti dalam Modul Sejarah Indonesia X 2020 menyebut bahwa berdirinya Kerajaan Kediri tak lepas dari peran Raja Airlangga. Baca juga Perang Ganter, Perlawanan Ken Arok untuk Meruntuhkan Kerajaan Kediri Ia membagi daerah kekuasaannya menjadi dua bagian pada tahun 963 M demi menghindari pertikaian. Dilakukan oleh seorang Brahmana bernama Mpu Bharada, Raja Airlangga membagi wilayah Kahuripan menjadi Jenggala Kahuripan dan Panjalu Kediri yang dibatasi olehgunung Kawi dan sungai Brantas. Panjalu Kediri kemudian diberikan kepada Sri Samarawijaya yang membangun pusat pemerintahannya di kota baru, yaitu Daha. Masa Kejayaan Kerajaan Kediri Tribunnews Ilustrasi Raja Kerajaan Kediri, Prabu Jayabaya, dan ramalannya. Melansir dari laman kerajaan Kediri berdiri pada abad ke-11 1045 M dengan Sri Samarawijaya sebagai raja pertamanya. Kerajaan ini berkuasa selama dua abad lamanya dan sempat mencapai puncak kejayaan di bawah pemerintahan Raja Jayabaya 1135-1159 M. Selain daerah kekuasaannya meluas hingga ke beberapa pulau di nusantara, bahkan disebut mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan Kediri berkembang menjadi kerajaan agraris yang sukses dengan hasil pertanian di sekitar Sungai Brantas yang bercocok tanam, mereka juga melakukan perdagangan emas, perak, kayu cendana, rempah-rempah, dan pinang dan berperan dalam perdagangan di Asia. Pada masa itu, berkembang pula kebudayaannya terutama di bidang sastra denganadanya beberapa peninggalan karya sastra dari Kerajaan Kediri yang terkenal hingga kini. Salah satunya adalah Kitab Bharatayudha yang berisi sebuah ramalan Jayabaya atau Jangka Jayabaya. Keruntuhan Kerajaan Kediri Line Patung Ken Arok, pendiri Kerajaan Singasari. Setelah dua abad berdiri, Kerajaan Kediri mulai melemah saat timbul perselisihan antara Raja Kertajaya dengan kaum Brahmana. Dikutip dari Intisari, Sri Maharaja Kertajaya yang berkuasa dari 1194-1422 merupakan raja yang kejam dan mengaku bahwa dirinya adalah seorang dewa. Kertajaya memaksa Brahmana untuk menyembahnya dan mengatakan hanya Dewa Shiwa yang bisa mengalahkannya. Kekejaman Kertajaya membuatnya tak ragu untuk menyiksa para Brahmana yang menolak titahnya. Para Brahmana kemudian meminta bantuan Ken Arok di Tumapel untuk menggulingkan kepemimpinan Kertajaya. Di tangan Ken Arok, Kertajaya akhirnya terbunuh dan Tumapel berhasil menguasai Ken Arok dari Tumapel menguasai Kediri membuatnya kemudian membangun kerajaan baru bernama Singosari. Peninggalan Kerajaan Kediri Berikut adalah daftar peninggalan Kerajaan Kediri baik berupa kitab, prasasti maupun candi. - Kitab Bharatayudha karangan Mpu Tantular dan Mpu Panuluh- Kitab Kresnayana karangan Mpu Tanakung- Kitab Smaradahana karangan Mpu Monaguna- Kitab Lubdaka karangan Mpu Tanakung- Prasasti PenumbanganPrasasti Hantang- Prasasti Talan- Prasasti Jepun- Prasasti Weleri- Prasasti Angin- Prasasti Padlegan- Prasasti Jaring- Prasasti Semanding- Prasasti Ceker- Candi Penataran- Candi Tondowongso- Candi Gurah Sumber Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

SejarahKerajaan Majapahit Pada Masa Jayanegara. Setelah Raja Kertarajasa mangkat pada tahun 1309, kedudukannya sebagai Raja Majapahit digantikan oleh putranya, Kalagemet. Setelah menjadi Raja Majapahit, Kalagemet bergelar Sri Jayanegara. Sebelumnya, Kalagemet sudah diangkat sebagai raja muda (kumararaja) ketika ayahnya masih hidup (1296). Keberadaan kerajaan Kediri tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kerajaan Mataram. Karena, setelah dinasti terakhir Kerajaan Mataram, muncul dinasti baru dengan nama Isyana di Medang Mataram. Dinasti ini berkuasa antara 947 M sampai 2016 M. Sayangnya, kerajaan ini diserang oleh Sriwijaya dan Wurawari hingga mengalami kehancuran. Satu-satunya keluarga yang selamat adalah Airlangga. Pada akhir pemerintahannya, ia diperintah oleh Mpu Bharada untuk membagi kerajaan menjadi dua, yaitu Jenggala dan Panjalu. Salah satu alasan pembagian adalah untuk menghindari peperangan dan kerajaan Kahuripan menjadi Jenggala Kahuripan dan Panjalu Kediri dikisahkan dalam prasasti Mahaksubya 1289 M, kitab Negarakertagama 1365 M dan kitab Calon Arang 1540 M.Wilayah kekuasaan dua kerajaan tersebut dibatasi oleh gunung Kawi dan sungai Brantas. Daerah Jenggala meliputi kawasan Malang dan delta Sungai Brantas, dengan ibukota Kahuripan. Pelabuhannya yang terkenal adalah Surabaya, Rembang, dan Pasuruan. Sedangkan Panjula meliputi kawasan Kediri dan Madiun dengan ibukota Daha. Meskipun sudah dibagi dua, ternyata konflik dan peperangan memperebutkan keutuhan wilayah justru tidak bisa persaingan antara Jenggala dan Panjalu, ternyata Panjalu Kediri yang unggul dan menjadi kerajaan yang besar kekuasaannya. Raja terbesar dari Kerajaan Kediri adalah Jayabaya 1135-1157. Jayabaya ingin mengembalikan kejayaan seperti masa Airlangga dan berhasil. Panjalu dan jenggala dapat bersatu kembali. Lencana Kerajaan memakai simbol Garuda Mukha simbol masa pemerintahannya kasusastraan diperhatikan. Empu Sedah dan Empu Panuluh mengubah karya sastra kitab Bharatayudha yang menggambarkan peperangan antara Pendawa dan Kurawa yang untuk menggambarkan peperangan antara jenggala dan kediri. Empu Panuluh juga menggubah kakawin Hariwangsa dan Gatotkacasraya. Jayabaya juga terkenal sebagai pujangga yang ahli meramal kejadian masa depan, terutama yang akan menimpa tanah Jawa. Ramalannya terkenal dengan istilah “Jangka Jayabaya.”Raja Kediri yang juga memperlihatkan kasusastraan ialah Kameswara. Empu Tan Akung menulis kitab Wartasancaya dan Lubdaka, sedangkan Empu Dharmaja menulis kitab Smaradahana. Didalam kitab Smaradahana ini Kameswara dipuji-puji sebagai titisan Kamajaya, permaisurinya ialah Sri Kirana atau putri Kediri yang terakhir ialah Kertajaya yang pada tahun 1222 kekuasaannya dihancurkan oleh Ken Arok sehingga berakhirlah kerajaan Kediri dan muncul kerajaan SosialKehidupan sosial kemasyarakatan pada zaman kerajaan Kediri dapat kita lihat dalam kitab Ling-Wai-Tai-Ta yang disusun oleh Chou Ku-Fei pada tahun 1178 M. Kitab tersebut menyatakan bahwa masyarakat Kediri memakai kain sampai bawah lutut dan rambutnya diurai. Rumah-rumahnya rata-rata sangat bersih dan rapi. Lantainya dibuat dari ubin yang berwarna kuning dan hijau. Pemerintahannya sangat memperhatikan keadaan rakyatnya sehingga pertanian, peternakan dan perdagangan mengalami kemajuan yang cukup dalam masyarakat Kediri dibedakan menjadi tiga berdasarkan kedudukan dalam pemerintahan masyarakat pusat kerajaan, yaitu masyarakat yang terdapat dalam lingkaran raja dan beberapa kaum kerabatnya serta kelompok masyarakat thani daerah, yaitu golongan masyarakat yang terdiri atas para pejabat atau petugas pemerintahan di wilayah thani daerah.Golongan masyarakat nonpemerintah, yaitu golongan masyarakat yang tidak mempunyai kedudukan dan hubungan dengan pemerintah secara resmi atau masyarakat memiliki 300 lebih pejabat yang bertugas mengurus dan mencatat semua penghasilan kerajaan. Disamping itu, ada pegawai rendahan yang bertugas mengurusi benteng dan parit kota, perbendaharaan kerajaan, dan gedung persediaan kebudayaanDibidang kebudayaan, khususnya sastra, masa Kahuripan dan Kediri berkembang pesat, antara lain sebagai masa Dharmawangsa berhasil disadur kitab Mahabarata ke dalam bahasa Jawa Kuno yang disebut kitab Wirataparwa. Selain itu juga disusun kitab hukum yang bernama Airlangga disusun kitab Arjuna Wiwaha karya Empu Jayabaya berhasil digubah kitab Bharatayudha oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh. Disamping itu, Empu Panuluh juga menulis kitab Hariwangsa dan Kameswara berhasil ditulis kitab Smaradahana oleh Empu Dharmaja. Kitab Lubdaka dan Wertasancaya oleh Empu Tan EkonomiDitilik dari letaknya yang berada ditepi Sungai Brantas dengan sejumlah Pelabuhan besar, kita bisa mengetahui bahwa kehidupan perekonomian kerajaan Kediri didominasi oleh aktivitas perdagangan. Meskipun demikian, masyarakat Kediri juga mengenal peternakan dan pertanian. Hasil kerajaan Kediri antara lain beras, kapas dan ulat sutra. Dari hasil itulah, penghasilan para pegawainya dibayar dengan menggunakan hasil kerajaan KediriRaja terakhir Kediri adalah Kertajaya. Kekuasaan Kertajaya berakhir setelah dikalahkan Ken Arok dari Tumapel pada tahun 1222. Pertempuran ini berawal dari ketika para biksu Buddha Kediri dikejar-kejar Kertajaya karena mereka kecewa terhadap kebijakan Kertajaya yang mengintimidasi umat Buddha. Para biksu tersebut lalu datang ke Tumapel untuk meminta perlindungan Ken Arok, penguasa Tumapel. Ken Arok mengabulkan permintaan mereka. Kertajaya meminta Ken Arok menyerahkan para rahib itu, namun ditolaknya. Terjadilah pertempuran di Desa Ganter, Kertajaya berhasil dibunuh oleh Ken Arok. Dengan meninggalnya Kertajaya, hancurlah PustakaIsmawati, Nursiwi. 2009. Sejarah Kelas XI Untuk SMA/MA Program Bahasa. Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Dwi Ari. 2009. Sejarah Untuk SMA/MA Kelas XI Program IPS. Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. 2009. Cakrawala Sejarah Untuk SMA/MA Kelas XI Program IPS. Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Triyono. 2009. Sejarah Sekolah Menengah Atas SMA dan Madrasah Aliyah MA Kelas XI. Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Pemerintahkerajaan Kediri sudah menerapkan sistem pajak. Ada juga hukuman bagi para pelaku kejahatan berupa hukuman denda". agama Hindu-Budha membawa pengaruh dalam bidang kehidupan masyarakat Indonesia salah satunya adalah dalam bidang politik antara lain munculnya sistem dinasti, muncul feodalisme, adanya konsep kultus dewaraja, dan
Tahukah anda tentang Kerajaan kediri ??? Jika anda belum mengetahuinya anda tepat sekali mengunjungi Karena pada kesempatan kali ini akan membahas tentang sejarah Kerajaan Kediri, raja-raja Kerajaan kediri, peninggalan Kerajaan kediri, dan kehidupan politik Kerajaan kediri secara lengkap. Oleh karena itu marilah simak ulasan yang ada dibawah berikut ini. Kerajaan Kediri Sejarah Kerajaan Kediri AWAL MULA Kerajaan Kediri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Wangsa Isyana Kerajaan Medang Kamulan. Kerajaan Kediri atau Kerajaan Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang bercorak Hindu terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri sekarang. Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kediri berdiri. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam prasasti Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga tahun 1042. Hal ini sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang bahwa, saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha. Kerajaan ini merupakan salah satu dari dua kerajaan pecahan Kahuripan pada tahun 1045 Wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian selatan Kerajaan Kahuripan. Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan tahta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Jenggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan. Tidak ada bukti yang jelas bagaimana kerajaan tersebut dipecah dan menjadi beberapa bagian. Dalam babad disebutkan bahwa kerajaan dibagi empat atau lima bagian. Tetapi dalam perkembangannya hanya dua kerajaan yang sering disebut, yaitu Kediri Panjalu dan Jenggala. Samarawijaya sebagai pewaris sah kerajaan mendapat ibukota lama, yaitu Dahanaputra, dan nama kerajaannya diubah menjadi Panjalu atau dikenal juga sebagai Kerajaan Kediri. Perkembangan Kerajaan Kediri Dalam perkembangannya Kerajaan Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh Kediri. Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala. Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai dari pada nama Kediri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kediri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina berjudul Ling wai tai ta 1178. Wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian selatan Kerajaan banyak yang diketahui peristiwa di masa-masa awal Kerajaan Kediri. Raja Kameswara 1116-1136 menikah dengan Dewi Kirana, puteri Kerajaan Janggala. Dengan demikian, berakhirlah Janggala kembali dipersatukan dengan Kediri. Kediri menjadi kerajaan yang cukup kuat di Jawa. Pada masa ini, ditulis kitab Kakawin Smaradahana, yang dikenal dalam kesusastraan Jawa dengan cerita Panji. Nama Kediri ada yang berpendapat berasal dari kata “Kedi” yang artinya “Mandul” atau “Wanita yang tidak berdatang bulan”.Menurut kamus Jawa Kuno Wojo Wasito, Kedi” berarti Orang Kebiri Bidan atau Dukun. Di dalam lakon Wayang, Sang Arjuno pernah menyamar Guru Tari di Negara Wirata, bernama “Kedi Wrakantolo”.Bila kita hubungkan dengan nama tokoh Dewi Kilisuci yang bertapa di Gua Selomangleng, “Kedi” berarti Suci atau Wadad. Disamping itu kata Kediri berasal dari kata “Diri” yang berarti Adeg, Angdhiri, menghadiri atau menjadi Raja bahasa Jawa Jumenengan. Untuk itu dapat kita baca pada prasasti “WANUA” tahun 830 saka, yang diantaranya berbunyi ” Ing Saka 706 cetra nasa danami sakla pa ka sa wara, angdhiri rake panaraban”, artinya pada tahun saka 706 atau 734 Masehi, bertahta Raja Pake Panaraban. Nama Kediri banyak terdapat pada kesusatraan Kuno yang berbahasa Jawa Kuno seperti Kitab Samaradana, Pararaton, Negara Kertagama dan Kitab Calon pula pada beberapa prasasti yang menyebutkan nama Kediri seperti Prasasti Ceber, berangka tahun 1109 saka yang terletak di Desa Ceker, sekarang Desa Sukoanyar Kecamatan prasasti ini menyebutkan, karena penduduk Ceker berjasa kepada Raja, maka mereka memperoleh hadiah, “Tanah Perdikan”. Dalam prasasti itu tertulis “Sri Maharaja Masuk Ri Siminaninaring Bhuwi Kadiri” artinya raja telah kembali kesimanya, atau harapannya di Bhumi Kamulan di Desa Kamulan Kabupaten Trenggalek yang berangkat tahun 1116 saka, tepatnya menurut Damais tanggal 31 Agustus prasasti itu juga menyebutkan nama, Kediri, yang diserang oleh raja dari kerajaan sebelah timur. “Aka ni satru wadwa kala sangke purnowo”, sehingga raja meninggalkan istananya di Katangkatang “tatkala nin kentar sangke kadetwan ring katang-katang deni nkir malr yatik kaprabon sri maharaja siniwi ring bhumi kadiri”. Tatkala Bagawantabhari memperoleh anugerah tanah perdikan dari Raja Rake Layang Dyah Tulodong yang tertulis di ketiga prasasti Kediri semula kecil lalu berkembang menjadi nama Kerajaan Panjalu yang besar dan sejarahnya terkenal hingga sekarang. Raja-Raja Kerajaan Kediri Kerajaan Kediri yang termasyhur pernah diperintah 8 raja dari awal berdirinya sampai masa keruntuhan kerajaan ini. Dari kedelapan raja yang pernah memerintah kerajaan ini yang sanggup membawa Kerajaan Kediri kepada masa keemasan adalah Prabu Jayabaya, yang sangat terkenal hingga saat ini. Adapun 8 raja Kediri tersebut urutannya sebagai berikut 1. Sri Jayawarsa Sejarah tentang raja Sri Jayawarsa ini hanya dapat diketahui dari prasasti Sirah Keting 1104 M. Pada masa pemerintahannya Jayawarsa memberikan hadiah kepada rakyat desa sebagai tanda penghargaan, karena rakyat telah berjasa kepada raja. Dari prasasti itu diketahui bahwa Raja Jayawarsa sangat besar perhatiannya terhadap masyarakat dan berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. 2. Sri Bameswara Raja Bameswara banyak meninggalkan prasasti seperti yang ditemukan di daerah Tulung Agung dan Kertosono. Prasasti seperti yang ditemukan itu lebih banyak memuat masalah-masalah keagamaan, sehingga sangat baik diketahui keadaan pemerintahannya. 3. Prabu Jayabaya Kerajaan Kediri mengalami masa keemasan ketika diperintah oleh Prabu Jayabaya. Strategi kepemimpinan Prabu Jayabaya dalam memakmurkan rakyatnya memang sangat mengagumkan. Kerajaan yang beribu kota di Dahono Puro, bawah kaki Gunung Kelud, ini tanahnya amat subur, sehingga segala macam tanaman tumbuh menghijau. Hasil pertanian dan perkebunan berlimpah ruah. Di tengah kota membelah aliran sungai Brantas. Airnya bening dan banyak hidup aneka ragam ikan, sehingga makanan berprotein dan bergizi selalu tercukupi. Hasil bumi itu kemudian diangkut ke kota Jenggala, dekat Surabaya, dengan naik perahu menelusuri sungai. Roda perekonomian berjalan lancar, sehingga Kerajaan Kediri benar-benar dapat disebut sebagai negara yang “Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta Raharja”. Prabu Jayabaya memerintah antara tahun 1130 sampai 1157 Masehi. Dukungan spiritual dan material dari Prabu Jayabaya dalam hal hukum dan pemerintahan tidak tanggung-tanggung. Sikap merakyat dan visinya yang jauh ke depan menjadikan Prabu Jayabaya layak dikenang sepanjang masa. Jika rakyat kecil hingga saat ini ingat kepada beliau, hal itu menunjukkan bahwa pada masanya berkuasa tindakan beliau yang selalu bijaksana dan adil terhadap rakyat. 4. Sri Sarwaswera Sejarah tentang raja ini didasarkan pada prasasti Padelegan II 1159 dan prasasti Kahyunan 1161. Sebagai raja yang taat beragama dan berbudaya, Sri Sarwaswera memegang teguh prinsip “tat wam asi”, yang berarti “dikaulah itu, dikaulah semua itu, semua makhluk adalah engkau”. Menurut Prabu Sri Sarwaswera, tujuan hidup manusia yang terakhir adalah moksa, yaitu pemanunggalan jiwatma dengan paramatma. Jalan yang benar adalah sesuatu yang menuju arah kesatuan, sehingga segala sesuatu yang menghalangi kesatuan adalah tidak benar. 5. Sri Aryeswara Berdasarkan prasasti Angin 1171, Sri Aryeswara adalah raja Kediri yang memerintah sekitar tahun 1171. Nama gelar abhisekanya ialah Sri Maharaja Rake Hino Sri Aryeswara Madhusudanawatara Arijamuka. Tidak diketahui dengan pasti kapan Sri Aryeswara naik tahta. peninggalan sejarahnya berupa prasasti Angin, 23 Maret 1171. Lambang Kerajaan Kediri pada saat itu Ganesha. Tidak diketahui pula kapan pemerintahannya berakhir. Raja Kediri selanjutnya berdasarkan prasasti Jaring adalah Sri Gandra. 6. Sri Gandra Masa pemerintahan Raja Sri Gandra 1181 M dapat diketahui dari prasasti Jaring, yaitu tentang penggunaan nama hewan dalam kepangkatan seperti seperti nama gajah, kebo, dan tikus. Nama-nama tersebut menunjukkan tinggi rendahnya pangkat seseorang dalam istana. 7. Sri Kameswara Masa pemerintahan Raja Sri Gandra dapat diketahui dari Prasasti Ceker 1182 dan Kakawin Smaradhana. Pada masa pemerintahannya dari tahun 1182 sampai 1185 Masehi, seni sastra mengalami perkembangan sangat pesat, diantaranya Empu Dharmaja mengarang kitab Smaradhana. Bahkan pada masa pemerintahannya juga dikeal cerita-cerita panji seperti cerita Panji Semirang. 8. Sri Kertajaya Berdasarkan prasasti Galunggung 1194, prasasti Kamulan 1194, prasasti Palah 1197, prasasti Wates Kulon 1205, Nagarakretagama, dan Pararaton, pemerintahan Sri Kertajaya berlangsung pada tahun 1190 hingga 1222 Masehi. Raja Kertajaya juga dikenal dengan sebutan “Dandang Gendis”. Selama masa pemerintahannya, kestabilan kerajaan menurun. Hal ini disebabkan Kertajaya ingin mengurangi hak-hak kaum Brahmana. Keadaan ini ditentang oleh kaum Brahmana. Kedudukan kaum Brahmana di Kerajaan Kediri waktu itu semakin tidak aman. Kaum Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel yang saat itu diperintah oleh Ken Arok. Mengetahui hal ini Raja Kertajaya kemudian mempersiapkan pasukan untuk menyerang Tumapel. Sementara itu Ken Arok dengan dukungan kaum Brahmana melakukan serangan ke Kerajaan Kediri. Kedua pasukan itu bertemu di dekat Ganter 1222 M. Kitab / Sistem Perundang-undangan Kediri Sistem Perundang-undangan Kerajaan Kediri disusun oleh para ahli hukum yang tergabung dalam Dewan Kapujanggan Istana. Sebelum menjalankan tugasnya para pakar hukum tadi senantiasa melakukan studi banding dalam hal penyusunan hukum serta konstitusi dari negeri lain. Produk hukum yang telah dihasilkan oleh dewan tersebut yaitu Kitab Darmapraja. Kitab ini merupakan karya pustaka yang berisi Tata Tertib Penyelenggaraan Pemerintahan dan Kenegaraan. Dalam soal pengadilan, Raja selalu mengikuti Undang-undang ini, sehingga adil segala keputusan yang diambilnya, membuat puas semua pihak Brandes, 189688. Pada pasal-pasal kitab tersebut, kata “agama” dapat ditafsirkan sebagai Undang-undang atau Kitab Perundang-undangan. Kadang yang berbeda ini perumusannya saja, yang satu lebih panjang daripada yang lain dan merupakan kelengkapan atau penjelasan dari pasal sejenis yang pendek. Kitab Perundang-undangan Agama adalah terutama Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Namun di samping Kitab Undang-undang Hukum Pidana terdapat juga Undang-undang Hukum Perdata. Tata cara jual-beli, pembagian warisan, pernikahan dan perceraian masuk dalam Undang-undang Hukum Perdata Hazeu, 198787. Memang pada zaman Kadiri belum ada perincian tegas antara Undang-undang Hukum Pidana dan Hukum Perdata. Menurut sejarah per Undang-undangan Hukum Perdata tumbuh dari Hukum Pidana, jadi percampuran Hukum Perdata dan Hukum Pidana dalam Kitab Perundang-undangan Agama di atas bukan suatu keganjilan ditinjau dari segi sejarah hukum. Sistem Peradilan Kerajaan Kediri Sistem peradilan Kerajaan Kediri bertujuan untuk mencapai kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kerajaan Stutterheim, 1930254. Dengan adanya kepastian hukum, maka hak dan kewajiban semua warga kerajaan dapat dijamin. Keseimbangan antara hak dan kewajiban warga kerajaan telah membuktikan serta membuahkan ketentraman lahir dan batin. Aparat dan rakyat menghormati hukum atau darma semata-mata demi terjaganya kepentingan bersama. Semua keputusan dalam pengadilan diambil atas nama Raja yang disebut Sang Amawabhumi artinya orang yang mempunyai atau menguasai negara. Dalam Mukadimah Darmapraja ditegaskan demikian Semoga Sang Amawabhumi teguh hatinya dalam menerapkan besar kecilnya denda, jangan sampai salah trap. Jangan sampai orang yang bertingkah salah, luput dari tindakan. Itulah kewajiban Sang Amawabhumi, jika beliau mengharapkan kerahayuan negaranya Moedjanto, 199456. Dalam soal pengadilan, Raja dibantu oleh dua orang Adidarma Dyaksa. Seorang Adidarma Dyaksa Kasiwan dan seorang Adidarma Dyaksa Kabudan, yakni kepala agama Siwa dan kepala agama Buda dengan sebutan Sang Maharsi, karena kedua agama itu merupakan agama utama dalam Kerajaan Kadiri dan segala Perundang-undangan didasarkan agama. Kedudukan Adidarma Dyaksa boleh disamakan dengan kedudukan Hakim Tinggi. Mereka itu dibantu oleh lima Upapati artinya pembantu dalam pengadilan adalah pembantu Adidarma Dyaksa. Mereka itu biasa disebut Pamegat atau Sang Pamegat artinya Sang Pemutus alias Hakim. Baik Adidarma Dyaksa maupun Upapati bergelar Sang Maharsi. Mula-mula jumlahnya hanya lima yakni Sang Pamegat Tirwan, Sang Pamegat Kandamuhi, Sang Pamegat Manghuri, Sang Pamegat Jambi, Sang Pamegat Pamotan. Mereka itu semuanya termasuk golongan Kasiwan, karena agama Siwa adalah agama resmi negara Kadiri dan mempunyai pengikut paling banyak. Pada zaman pemerintahan Prabu Jayabhaya jumlah Upapati ditambah dua menjadi tujuh. Keduanya termasuk golongan Kabudan, sehingga ada lima Upapati Kasiwan dan dua Upapati Kabudan. Perbandingan itu sudah layak mengingat jumlah pemeluk agama Buda kalah banyak dengan jumlah pemeluk agama Siwa. Dua Upapati Kabudan itu ialah Sang Pamegat Kandangan Tuha dan Sang Pamegat Kandangan Rare. Ketika Prabu Jayabaya bertahta di Mamenang, beliau dihadap oleh pelbagai pembesar, di antaranya Dyaksa, Upapati dan Para Panji yang paham tentang Undang-undang Rassers, 1959243. Dari uraian itu nyata bahwa Para Panji adalah pembantu para Upapati dalam melakukan pengadilan di daerah-daerah. Pangkat Panji masih dikenal di kesultanan Yogyakarta sampai tahun 1940. Para Panji di Kesultanan Yogya diserahi tugas pengadilan. Jadi tidak berbeda dengan Para Panji pada zaman Kadiri. Lembaga peradilan kerajaan ini bertanggung jawab kepada Raja secara langsung. Akan tetapi silang sengketa yang menyangkut kepenting¬an Raja dan keluarganya, menggunakan peradilan khusus, sehingga kontaminasi dan intervensi terhadap hasil putusan dapat dihindari. Dalam hal ini Raja mempunyai staf hukum yang mumpuni, profesional dan tidak diragukan lagi integritas serta kredibilitasnya. Hukum Positif dan Budaya Simbolik Dalam masa pemerintahan Prabu Jayabaya, prinsip pelaksanaan kenegaraan terbagi menjadi dua yakni hukum positif dan budaya simbolik. Hukum positif merupakan hukum yang berlaku berdasar peraturan tertulis yang disepakati bersama. Biasanya hukum ini bersifat praktis, teknis dan mikro. Semua transaksi dan lika-liku kehidupan yang menyang kut jual beli, dagang, ekonomi, politik, karier, birokrasi, organisasi dan perkawinan diatur secara rinci. Pelanggaran hukum dan dendanya pun diatur secara detail. Di samping hukum positif, dalam menata masyarakatnya Prabu Jayabhaya menggunakan pendekatan budaya simbolik. Untuk menunjang keberhasilan program ini, maka diperintahkanlah para pujangga untuk menulis karya cipta. Tujuannya agar aparat dan rakyat patuh pada norma susila. Hanya saja apabila terjadi pelanggaran maka hukuman dan sangsinya bersifat ghaib spiritual. Pujangga yang diberi tugas menulis kitab spiritual itu di antaranya adalah Empu Sedah dan Empu Panuluh. Empu Sedah adalah penyusun Kakawin Baratayudha pada tahun 1079 Saka atau 1157 Masehi, dengan sengkalan berbunyi Sangha Kuda Suddha Candrama. Hanya saja, Empu Sedah keburu meninggal sebelum karyanya selesai. Kakawin Baratayudha dipersembahkan kepada Prabu Jayabhaya, Mapanji Jayabhaya, Jayabhaya Laksana atau Sri Warmeswara. Tingkat kecerdasan rakyat memang berbeda-beda. Hukum positif yang disusun oleh elit negara, kadang kala kurang bisa dipahami oleh rakyat awam. Keadaan ini disadari oleh para Raja Kadiri. Oleh karena itu demi terciptanya susasana yang harmonis, lantas diciptakan nasehat-nasehat simbolis berbau mistis. Kenyataannya pesan-pesan spitirual Prabu Jayabhaya yang dibungkus dengan ramalan ghaib tadi dipercaya oleh sebagian besar masyarakat. Sebagai pelengkap dan pengiring hukum positif, maka budaya simbolik tersebut dapat digunakan untuk mencapai ketertiban sosial. Prabu Jayabaya adalah raja besar laksana Dewa Keadilan yang angejawantah ing madyapada. Sikap hidupnya benar-benar bijaksana. Kewibawaannya telah membuat ketentraman dan kemuliaan jagat raya, yang membuat Kerajaan Kadiri mencapai masa kejayaan dan keemasan. Selama Prabu Jayabaya memegang kendali pemerintahan dan tata praja, Nusantara sungguh-sungguh diperhitungkan di kawasan Asia Tenggara, Asia Tengah dan Asia Selatan. Beliau berhasil mewujudkan negara yang Gedhe Obore, Padhang Jagade, Dhuwur Kukuse, Adoh Kuncarane, Ampuh Kawibawane. Masyarakat merasakan negara yang Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Tentrem Karta Raharja. Konsep Saptawa, dijadikan sebagai program utama yaitu Wastra sandang 2. Wareg pangan 3. Wisma papan 4. Wasis pendidikan 5. Waras kesehatan 6. Waskita keruhanian, dan 7. Wicaksana kebijaksanaan. Masyarakat Jawa percaya bahwa Prabu Jayabaya selalu bersikap arif dan bijaksana serta menjunjung hukum yang berlaku. Semua golongan masyarakat bersatu padu mendukung pemerintahannya. Refleksi kearifan warisan para leluhur raja Jawa dijadikan referensi untuk membawa kebesaran Nusantara. Kebesaran dan kejayaan Kerajaan Kediri, di samping faktor kepemimpinan rajanya yang selalu mengutamakan kepentingan umum, juga didukung oleh kejeliannya dalam menyusun Undang-undang dasar yang mengikat sekalian warganya. Kepatuhan pada konstitusi telah membuat ketertiban di seluruh kawasan Kerajaan Kadiri. Aparat kerajaan yang terdiri dari pejabat sipil dan militer bekerja sesuai dengan amanat konstitusi, sehingga segala kebijakan kerajaan membuahkan kemakmuran dan ketentraman rakyat. Bukti Peninggalan Sejarah Kerajaan Kediri Sumber sejarah kerajaan Kediri dapat di telusuri dari beberapa prasasti dan berita asing di antaranya Prasasti Banjaran berangka tahun 1052 M menjelaskan kemenangan Panjalu atas Jenggala. Prasasti Hantang berangka tahun 1052 M menjelaskan Panjalu pada masa Jayabaya. Prasasti Sirah Keting 1104 M, memuat pemberian hadiah tanah kepada rakyat desa oleh Jayawarsa. Prasasti yang ditemukan di Tulungagung dan Kertosono berisi masalah keagamaan , berasal dari raja Bameswara. Prasasti Ngantang 1135M, menyebutkan raja Jayabaya yang memberikan hadiah kepada rakyat desa Ngantang sebidang tanah yang bebas dari pajak. Prasasti Jaring 1181M, dari raja Gandra yang memuat sejumlah nama pejabat dengan menggunakan nama hewan seperi Kebo Waruga dan Tikus Jinada. Prasasti Kamulan 1194M , memuat masa pemerintahan Kertajaya , dimana Kediri berhasil mengalahkan musuh yang telah memusuhi istana Katang-Katang. Candi Penataran Candi termegah dan terluas di Jawa Timur ini terletak di lereng barat daya Gunung Kelud, di sebelah utara Blitar, pada ketinggian 450 meter dpl. Dari prasasti yang tersimpan di bagian candi diperkirakan candi ini dibangun pada masa Raja Srengga dari Kerajaan Kediri sekitar tahun 1200 Masehi dan berlanjut digunakan sampai masa pemerintahan Wikramawardhana, Raja Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1415. Candi Gurah Candi Gurah terletak di kecamatan di Kediri, Jawa Timur. Pada tahun 1957 pernah ditemukan sebuah candi yang jaraknya kurang lebih 2 km dari Situs Tondowongso yang dinamakan Candi Gurah namun karena kurangnya dana kemudian candi tersebut dikubur kembali. Candi Tondowongso Situs Tondowongso merupakan situs temuan purbakala yang ditemukan pada awal tahun 2007 di Dusun Tondowongso, Kediri, Jawa Timur. Situs seluas lebih dari satu hektare ini dianggap sebagai penemuan terbesar untuk periode klasik sejarah Indonesia dalam 30 tahun terakhir semenjak penemuan Kompleks Percandian Batujaya, meskipun pernah menemukan satu arca dari lokasi yang sama pada tahun 1957. Penemuan situs ini diawali dari ditemukannya sejumlah arca oleh sejumlah perajin batu bata bentuk dan gaya tatahan arca yang ditemukan, situs ini diyakini sebagai peninggalan masa Kerajaan Kediri awal abad XI, masa-masa awal perpindahan pusat politik dari kawasan Jawa Tengah ke Jawa Timur. Selama ini Kerajaan Kediri dikenal dari sejumlah karya sastra namun tidak banyak diketahui peninggalannya dalam bentuk bangunan atau hasil pahatan. Arca Buddha Vajrasattva Arca Buddha Vajrasattva ini berasal dari zaman Kerajaan Kediri abad X/XI. Dan sekarang merupakan Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman. Prasasti Galunggung Prasasti Galunggung memiliki tinggi sekitar 160 cm, lebar atas 80 cm, lebar bawah 75 cm. Prasasti ini terletak di Rejotangan, Tulungagung. Di sekeliling prasasti Galunggung banyak terdapat tulisan memakai huruf Jawa kuno. Tulisan itu berjajar rapi. Total ada 20 baris yang masih bisa dilihat mata. Sedangkan di sisi lain prasasti beberapa huruf sudah hilang lantaran rusak dimakan usia. Di bagian depan, ada sebuah lambang berbentuk lingkaran. Di tengah lingkaran tersebut ada gambar persegi panjang dengan beberapa logo. Tertulis pula angka 1123 C di salah satu sisi prasasti. Candi Tuban Pada tahun 1967, ketika gelombang tragedi 1965 melanda Tulungagung. Aksi Ikonoklastik, yaitu aksi menghancurkan ikon – ikon kebudayaan dan benda yang dianggap berhala terjadi. Candi Mirigambar luput dari pengrusakan karena adanya petinggi desa yang melarang merusak candi ini dan kawasan candi yang dianggap pun beralih ke Candi Tuban, dinamakan demikian karena candi ini terletak di Dukuh Tuban, Desa Domasan, Kecamatan Kalidawir, Kabupaten Tulungagung. Candi ini terletak sekitar 500 meter dari Candi Mirigambar. Candi Tuban sendiri hanya tersisa kaki candinya. Setelah dirusak, candi ini dipendam dan kini diatas candi telah berdiri kandang kambing, ayam dan Pak Suyoto, jika warga mau kembali menggalinya, maka kira – kira setengah sampai satu meter dari dalam tanah, pondasi Candi Tuban bisa tersingkap dan relatif masih utuh. Pengrusakan atas Candi Tuban juga didasari legenda bahwa Candi Tuban menggambarkan tokoh laki – laki Aryo Damar, dalam legenda Angling Dharma dan jika sang laki – laki dihancurkan, maka dapat dianggap sebagai kemenangan. Prasasti Panumbangan Pada tanggal 2 Agustus 1120 Maharaja Bameswara mengeluarkan prasasti Panumbangan tentang permohonan penduduk desa Panumbangan agar piagam mereka yang tertulis di atas daun lontar ditulis ulang di atas batu. Prasasti tersebut berisi penetapan desa Panumbangan sebagai sima swatantra oleh raja sebelumnya yang dimakamkan di Gajapada. Raja sebelumnya yang dimaksud dalam prasasti ini diperkirakan adalah Sri Jayawarsa. Prasasti Talan Prasasti Talan/ Munggut terletak di Dusun Gurit, Kabupaten Blitar. Prasasti ini berangka tahun 1058 Saka 1136 Masehi. Cap prasasti ini adalah berbentuk Garudhamukalancana pada bagian atas prasasti dalam bentuk badan manusia dengan kepala burung garuda serta prasasti ini berkenaan dengan anugerah sima kepada Desa Talan yang masuk wilayah Panumbangan memperlihatkan prasasti diatas daun lontar dengan cap kerajaan Garudamukha yang telah mereka terima dari Bhatara Guru pada tahun 961 Saka 27 Januari 1040 Masehi dan menetapkan Desa Talan sewilayahnya sebagai sima yang bebas dari kewajiban iuran pajak sehingga mereka memohon agar prasasti tersebut dipindahkan diatas batu dengan cap kerajaan Jayabhaya mengabulkan permintaan warga Talan karena kesetiaan yang amat sangat terhadap raja dan menambah anugerah berupa berbagai macam hak istimewa. Peninggalan Kitab Kerajaan Kediri Pada zaman Kediri karya sastra berkembang pesat sehingga banyak karya sastra yang dihasilkan. Karya sastra tersebut adalah sebagai berikut Kitab Wertasancaya karangan Empu Tan Akung yang berisi petunjuk tentang cara membuat syair yang baik. Kitab Smaradhahana yang digubah oleh Empu Dharmaja dan berisi pujian kepada raja sebagai titisan Dewa Kama. Kitab ini juga menyebutkan bahwa nama ibu kota kerajaannya adalah Dahana. Kitab Lubdaka karangan Empu Tan Akung yang berisi kisah Lubdaka sebagai seorang pemburu yang mestinya masuk neraka. Karena pemujaannya yang istimewa, ia ditolong dewa dan rohnya diangkat ke surga. Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna yang berisi riwayat Kresna sebagai anak nakal, tetapi dikasihi setiap orang karean suka menolong dan sakti. Kitab Samanasantaka karangan Empu Monaguna yang mengisahkan Bidadari Harini yang terkenal untuk Begawan Trenawindu. Kitab Baharatayuda yang diubah oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh. Kitab Gatotkacasraya dan Kitab Hariwangsa yang diubah oleh Empu Panuluh. Kehidupan Politik Dan Pemerintahan Kerajaan Kediri Mapanji Garasakan memerintah tidak lama. Ia digantikan Raja Mapanji Alanjung 1052 – 1059 M. Mapanji Alanjung kemudian diganti lagi oleh Sri Maharaja Samarotsaha. Pertempuran yang terus menerus antara Jenggala dan Panjalu menyebabkan selama 60 tahun tidak ada berita yang jelas mengenai kedua kerajaan tersebut hingga munculnya nama Raja Bameswara 1116 – 1135 M dari Kediri. Pada masa itu ibu kota Panjalu telah dipindahkan dari Daha ke Kediri sehingga kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri. Raja Bameswara menggunakan lencana kerajaan berupa tengkorak bertaring di atas bulan sabit yang biasa disebut Candrakapala. Setelah Bameswara turun takhta, ia digantikan Jayabaya yang dalam masa pemerintahannya itu berhasil mengalahkan Jenggala. Berturut-turut raja-raja Kediri sejak Jayabaya sebagai berikut. Pada tahun 1019 M Airlangga dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan. Airlangga berusaha memulihkan kembali kewibawaan Medang Kamulan, setelah kewibawaan kerajaan berahasil dipulihkan, Airlangga memindahkan pusat pemerintahan dari Medang Kamulan ke Kahuripan. Berkat jerih payahnya , Medang Kamulan mencapai kejayaan dan kemakmuran. Menjelang akhir hayatnya , Airlangga memutuskan untuk mundur dari pemerintahan dan menjadi pertapa dengan sebutan Resi Gentayu. Airlangga meninggal pada tahun 1049 M. Pewaris tahta kerajaan Medang Kamulan seharusnya seorang putri yaitu Sri Sanggramawijaya yang lahir dari seorang permaisuri. Namun karena memilih menjadi pertapa, tahta beralih pada putra Airlangga yang lahir dari selir. Untuk menghindari perang saudara, Medang Kamulan dibagi menjadi dua yaitu kerajaan Jenggala dengan ibu kota Kahuripan, dan kerajaan Kediri Panjalu dengan ibu kota Dhaha. Tetapi upaya tersebut mengalami kegagalan. Hal ini dapat terlihat hingga abad ke 12 , dimana Kediri tetap menjadi kerajaan yang subur dan makmur namun tetap tidak damai sepenuhnya dikarenakan dibayang- bayangi Jenggala yang berada dalam posisi yang lebih lemah. Hal itu menjadikan suasana gelap, penuh kemunafikan dan pembunuhan berlangsung terhadap pangeran dan raja – raja antar kedua negara. Namun perseteruan ini berakhir dengan kekalahan jenggala, kerajaan kembali dipersatukandi bawah kekuasaan Kediri. Kehidupan Ekonomi Kerajaan Kediri Strategi kepemimpinan Prabu Jayabaya dalam memakmurkan rakyatnya memang sangat mengagumkan Gonda, 1925 111. Kerajaan yang beribukota di Dahanapura bawah kaki Gunung Kelud ini tanahnya amat subur, sehingga segala macam tanaman tumbuh menghijau. Pertanian dan perkebunan hasilnya berlimpah ruah. Di tengah kota membelah aliran sungai Brantas. Airnya bening dan banyak hidup aneka ragam ikan, sehingga makanan berprotein dan bergizi selalu tercukupi. Hasil bumi itu kemudian diangkut ke Kota Jenggala, dekat Surabaya, dengan naik perahu menelusuri sungai. Roda perekonomian berjalan lancar sehingga Kerajaan Kadiri benar-benar dapat disebut sebagai negara yang Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta Raharja. Dalam kehidupan ekonomi diceritakan bahwa perekonomian Kediri bersumber atas usaha perdagangan, peternakan, dan pertanian. Kediri terkenal sebagai penghasil beras,menanam kapas dan memelihara ulat sutra. Dengan demikian dipandang dariaspek ekonomi, kerajaan Kediri sudah cukup makmur. Hal ini terlihat dari kemampuan kerajaan memberikan penghasilan tetap kepada para pegawainya walaupun hanya dibayar dengan hasil bumi. Demikian keterangan yang diperoleh berdasarkan kitab Chi-Fan-Chi dan kitab Ling-wai-tai-ta. Untuk menopang penghasilan kerajaan , diberlakukan sistem pajak. Komoditas dagang berupa beras, emas, perak, daging, dan kayu cendana. Adapun bentuk pajak berupa beras, kayu, dan palawija. Kehidupan AGAMA DAN SPIRITUAL Kerajaan Kediri Agama yang berkembang di Kediri adalah agama hindu aliran Waisnawa Airlangga titisan Wisnu. Dalam bidang spiritual di Kerajaan Kediri juga sangat maju Pigeaud, 192467. Tempat ibadah dibangun di mana-mana. Para guru kebatinan mendapat tempat yang terhormat. Bahkan Sang Prabu sendiri kerap melakukan tirakat, tapa brata dan semedi. Beliau suka bermeditasi di tengah hutan yang sepi. Laku prihatin dengan cegah dhahar lawan guling, mengurangi makan tidur. Hal ini menjadi aktifitas ritual sehari-hari. Tidak mengherankan apabila Prabu Jayabhaya ngerti sadurunge winarah Tahu sebelum terjadi yang bisa meramal owah gingsire jaman. Ramalan itu sungguh relevan untuk membaca tanda-tanda jaman saat ini. Prabu Jayabaya memerintah antara 1130 – 1157 M. Dukungan spiritual dan material dari Prabu Jayabaya dalam hal hukum dan pemerintahan tidak tanggung-tanggung. Sikap merakyat dan visinya yang jauh ke depan menjadikan Prabu Jayabaya layak dikenang sepanjang masa. Kalau rakyat kecil hingga saat ini ingat pada beliau, hal itu menunjukkan bahwa pada masanya berkuasa tindakannya selalu bijaksana dan adil terhadap rakyatnya. Kehidupan beragama sudah diatur juga dalam Undang-undang. Tiap bab memuat pasal-pasal yang sejenis, sehingga ada sistematika dalam penyusunan. Sudah pasti bahwa susunannya semula menganut suatu sistem. Kitab hukum per Undang-undangan itu disusun sebagai berikut Bab I Sama Beda Dana Denda, berisi ketentuan diplomasi, aliansi, konstribusi dan sanksi. Bab II Astadusta, berisi tentang sanksi delapan kejahatan penipuan, pemerasan, pencurian, pemerkosaan, penganiayaan, pembalakan, penindasan dan pembunuhan Bab III Kawula, berisi tentang hak-hak dan kewajiban masyarakat sipil. Bab IV Astacorah, berisi tentang delapan macam penyimpangan administrasi kenegaraan. Bab V Sahasa, berisi tentang sistem pelaksanaan transaksi yang berkaitan pengadaan barang dan jasa. Bab VI Adol-atuku, berisi tentang hukum perdagangan. Bab VII Gadai atau Sanda, berisi tentang tata cara pengelolaan lembaga pegadaian. Bab VIII Utang-apihutang, berisi aturan pinjam-meminjam Bab IX Titipan, berisi tentang sistem lumbung dan penyimpanan barang. Bab X Pasok Tukon, berisi tentang hukum perhelatan. Bab XI Kawarangan, berisi tentang hukum perkawinan. Bab XII Paradara, berisi hukum dan sanksi tindak asusila. Bab XIII Drewe kaliliran, berisi tentang sistem pembagian warisan. Bab XIV Wakparusya, berisi tentang sanksi penghinaan dan pencemaran nama baik. Bab XV Dendaparusya, berisi tentang sanksi pelanggaran administrasi Bab XVI Kagelehan, berisi tentang sanksi kelalaian yang menyebabkan kerugian publik. Bab XVII Atukaran, berisi tentang sanksi karena menyebarkan permusuhan. Bab XVIII Bumi, berisi tentang tata cara pungutan pajak Bab XX Dwilatek, berisi tentang sanksi karena melakukan kebohongan publik. Kehidupan Sosial Dan Budaya Kondisi masyarakat Kediri sudah teratur. Penduduknya sudah memakai kain sampai di bawah lutut, rambut diurai, serta rumahnya bersih dan rapi. Dalam perkawinan, keluarga pengantin wanita menerima maskawin berupa emas. Orang-orang yang sakit memohon kesembuhan kepada dewa dan Buddha. Perhatian raja terhadap rakyatnya sangat tinggi. Hal itu dibuktikan pada kitab Lubdaka yang berisi tentang kehidupan sosial masyarakat pada saat itu. Tinggi rendahnya martabat seseorang bukan berdasarkan pangkat dan harta bendanya, tetapi berdasarkan moral dan tingkah lakunya. Raja juga sangat menghargai dan menghormati hak-hak rakyatnya. Akibatnya, rakyat dapat leluasa menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari. Pada zaman Kediri karya sastra berkembang pesat. Banyak karya sastra yang dihasilkan. Pada masa pemerintahan Jayabaya, raja pernah memerintahkan kepada Empu Sedah untuk mengubah kitab Bharatayuda ke dalam bahasa Jawa Kuno. Karena tidak selesai, pekerjaan itu dilanjutkan oleh Empu Panuluh. Dalam kitab itu, nama Jayabaya disebut beberapa kali sebagai sanjungan kepada rajanya. Kitab itu berangka tahun dalam bentuk candrasangkala, sangakuda suddha candrama 1079 Saka atau 1157 M. Selain itu, Empu Panuluh juga menulis kitab Gatutkacasraya dan Hariwangsa. Pada masa pemerintahan Kameswara juga ditulis karya sastra, antara lain sebagai berikut. Kitab Wertasancaya, yang berisi petunjuk tentang cara membuat syair yang baik. Kitab itu ditulis oleh Empu Tan Akung. Kitab Smaradhahana, berupa kakawin yang digubah oleh Empu Dharmaja. Kitab itu berisi pujian kepada raja sebagai seorang titisan Dewa Kama. Kitab itu juga menyebutkan bahwa nama ibu kota kerajaannya adalah Dahana. Kitab Lubdaka, ditulis oleh Empu Tan Akung. Kitab itu berisi kisah Lubdaka sebagai seorang pemburu yang mestinya masuk neraka. Karena pemujaannya yang istimewa, ia ditolong dewa dan rohnya diangkat ke surga. Selain karya sastra tersebut, masih ada karya sastra lain yang ditulis pada zaman Kediri, antara lain sebagai berikut. Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna yang berisi riwayat Kresna sebagai anak nakal, tetapi dikasihi setiap orang karena suka menolong dan sakti. Kresna akhirnya menikah dengan Dewi Rukmini. Kitab Samanasantaka karangan Empu Managuna yang mengisahkan Bidadari Harini yang terkena kutuk Begawan Trenawindu. Adakalanya cerita itu dijumpai dalam bentuk relief pada suatu candi. Misalnya, cerita Kresnayana dijumpai pada relief Candi Jago bersama relief Parthayajna dan Kunjarakarna. Karya di Bidang Hukum Tata Negara Empu Triguna hidup pada masa pemerintahan Prabu Jayawarsa di Panjalu pada tahun 1026 Saka atau 1104 Masehi Poerbatjaraka, 1957 18. Prabu Jayawarsa ini juga menjadi patron bagi para pujangga dalam mengembangkan dinamika ilmu hukum dan tata praja. Para cendekiawan yang berbakat diberi fasilitas untuk mengaktualisasikan idealismenya. Pernyataan ini didukung, sebenarnya sudah digarisbawahi oleh pujangga kita dahulu. Karya hukum dan tata praja yang telah diciptakan oleh Empu Triguna adalah Kakawin Kresnayana. Kakawin Kresnayana berisi tentang ilmu hukum dan pemerintahan. Prabu Jayawarsa juga amat peduli dengan kehidupan ilmu pengetahuan, sebagai tanda bahwa beliau juga seorang humanis. Empu Manoguna adalah rekan seangkatan Empu Triguna. Keduanya merupakan pujangga istana jaman Prabu Jayawarsa di Kerajaan Kadiri. Menilik nama Empu Manoguna dan Triguna ada bagian yang sama, kemungkinan besar dapat diduga keduanya masih ada hubungan kerabat atau seperguruan. Yang jelas kedua Empu ini adalah konsultan dan penasehat utama Prabu Jayawarsa. Karya hukum dan tata praja ciptaan Empu Manoguna adalah Kakawin Sumanasantaka, cerita yang bersumber dari Kitab Raguwangsa karya pujangga besar dari India, Sang Kalisada. Pengaruh India ke dalam kehidupan masyarakat Jawa Kuno memang besar, baik yang bersifat Hindu maupun Buda. Hal ini tampak dengan ungkapan bahasa Sansekerta yang masuk dalam kosakata ilmu pengetahuan Jawa Kuno. Sumanasantaka berasal dari kata sumanasa = kembang dan antaka = mati. Artinya adalah mati oleh kembang. Serat Sumanasantaka menceritakan kebijaksanaan seorang raja dalam memimpin rakyatnya. Karya hukum dan tata praja Empu Dharmaja yang terkenal adalah Kakawin Smaradahana dan Kakawin Bomakawya. Kitab Smaradahana menceritakan Batara Kamajaya yang punya sifat keagungan. Kitab Bomakawya menurut Teeuw 194697 menceritakan cara memimpin yang berdasarkan pada nilai keadilan dan perdamaian. Kerajaan Kediri mengalami masa keemasan ketika diperintah oleh Prabu Jayabaya. Sukses gemilang Kerajaan Kediri didukung oleh tampilnya cendekiawan terkemuka Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Darmaja, Empu Triguna dan Empu Manoguna. Mereka adalah jalma sulaksana, manusia paripurna yang telah memperoleh derajat oboring jagad raya. Di bawah kepemimpinan Prabu Jayabhaya, Kerajaan Kadiri mencapai puncak peradaban, terbukti dengan lahirnya kitab-kitab hukum dan kenegaraan sebagaimana terhimpun dalam karya-karya Kakawin Bharatayuda oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh , Gathotkacasraya dan Hariwangsa oleh Empu Panuluh yang hingga kini merupakan warisan ruhani bermutu tinggi, Masa Kejayaan Kerajaan Kediri Kerajaan Kediri mencapai puncak kejayaan ketika masa pemerintahan Raja Jayabaya. Daerah kekuasaannya semakin meluas yang berawal dari Jawa Tengah meluas hingga hampir ke seluruh daerah Pulau Jawa. Selain itu, pengaruh Kerajaan Kediri juga sampai masuk ke Pulau Sumatera yang dikuasai Kerajaan Sriwijaya. Kejayaan pada saat itu semakin kuat ketika terdapat catatan dari kronik Cina yang bernama Chou Ku-fei pada tahun 1178 M berisi tentang Negeri paling kaya di masa kerajaan Kediri pimpinan Raja Sri Jayabaya. Bukan hanya daerah kekuasaannya saja yang besar, melainkan seni sastra yang ada di Kediri cukup mendapat perhatian. Dengan demikian, Kerajaan Kediri semakin disegani pada masa itu. Masa Runtuhnya Kerajaan Kediri Kerajaan Panjalu / Kediri runtuh pada masa pemerintahan Kertajaya yang juga lebih dikenal dengan sebutan Dandang Gendis., dan dikisahkan dalam ”Pararaton” dan ”Nagarakretagama”. Pada tahun 1222 Kertajaya sedang berselisih melawan kaum brahmana. Selama pemerintahannya, keadaan Kediri menjadi tidak aman. Kestabilannya kerajaan menurun. Hal ini disebabkan Raja Kertajaya mempunyai maksud mengurangi hak-hak kaum Brahmana. Hal ini ditentang oleh kaum Brahmana. Kedudukan kaum Brahmana di Kerajaan Kediri semakin tidak aman. Kaum Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel yang saat itu diperintah oleh Ken Arok. Raja Kertajaya yang mengetahui bahwa kaum Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel, mempersiapkan pasukannya untuk menyerang Tumapel. Sementara itu, Ken Arok dengan dukungan kaum Brahmana melakukan serangan ke Kerajaan Kediri. Kedua pasukan itu bertemu di dekat Genter , sekitar Malang 1222 M. Dalam pertempuran itu pasukan Kediri berhasil dihancurkan. Raja Kertajaya berhasil meloloskan diri. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan kerajaan Kediri . Akhirnya kerajaan Kediri menjadi daerah bawahan Kerajaan Tumapel. Selanjutnya berdirilah Kerajaan Singasari dengan Ken Arok sebagai raja pertama. KESIMPULAN Kerajaan Kediri / Panjalu yang merupakan kerajaan hasil bagi dari kerajaan Kahuripan di Jawa Timur pada masa raja Airlangga merupakan kerajaan yang patut diperhitungkan. Kerajaan yang berada di sekitar wilayah Kediri sekarang ini mengalami masa puncak kejayaan pada masa raja Jayabaya yang sangat terkenal dengan ilmu dan keahliannya dalam membaca masa depan atau meramal. Tak hanya cakap dalam meramal, bahkan raja Jayabaya yang membawa kemakmuran bagi Kediri telah mampu mengelola dan memimpin kerajaannya dengan sangat baik. Hal ini terbukti dari berbagai peninggalan sejarah yang telah direkonstruksikan dan memberitahukan kepada pembaca sekarang bahwa pada zaman kerajaan Kediri telah muncul berbagai sastra dan budaya yang sangat luar biasa, mulai dari kitab Bharatayudha, Hariwangsa sampai Gatotkacasraya. Kerajaan Kediri pada masa itu merupakan kerajaan yang mandiri dan makmur, yang secara ekonomi mengalami kecukupan dengan mendayagunakan pertanian, perdagangan, dan peternakan. Kehidupan yang makmur membuat masyarakat dalam aspek sosial mengalami hal yang senada. Karena dipimpin raja yang bijak, tak urung kemajuan dari masyarakat yang berkecukupan dalam hal sandang, pangan dan papan. Tak hanya dalam hal fisik yang mencoba dibangun oleh raja Jayabaya pada saat itu juga telah diberlakukan ketertiban dan hukum yang jelas dank eras bagi seluruh rakyat Kediri. Walaupun kemakmuran tersebut tidak berlangsung lama karena kemudian kegelapan mengganti masa-masa jaya kerajaan Kediri pada masa pemerintahan Kertajaya 1222 M. Kerincuhan dan selisih paham yang berlaku dan terjadi antara Kertajaya dan kaum brahmana ternyata membawa akhir bagi kerajaan Kediri. Brahnama yang tidak sepahan meminta bantuan Ken Arok yang pada saat itu juga sedang gencar-gencarnya melakukan usaha ekspansionis untuk mendirikan sebuah kerajaan yang pada akhirnya bernama Singasari. Namun, keberadaab kerajaan Kediri merupakan sebuah bukti eksistensi dan kemakmuan salah satu kerajaan di Jawa Timur sebagai penerus dinasti Isyana. Dengan sistem pemerintahan, birokrasi, ekonomi, sosial, budaya, dan agama yang mengalami kemajuan secara gilang-gemilang. DAFTAR PUSTAKA Hidayat Yoedoprawiro, 2000. Relevansi Ramalan Jayabaya dan Indonesia Abad XXI. Jakarta Balai Pustaka. Meinsma, 1903. Serat Babad Tanah Jawi, Wiwit Saking Nabi Adam Dumugi ing Tahun 1647. S’Gravenhage. Moedjanto, 1994. Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta Kanisius. Pigeaud, 1924. De Tantu Panggelaran Uitgegeven, Vertaald en Toegelicht. Disertasi Leiden. Poerbatjaraka, 1957. Kapustakan Jawi. Jakarta Djambatan. Rassers, 1959. De Panji Roman, Leiden Dissertatie. Stutterheim, 1930. Rama Legenden und Rama Reliefs in Indonesia, Munchen Kulturkreis der Indische. Teeuw, 1946. Het Bhomakawya, Leiden Dissertatie. Zoetmulder, 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta Djambatan. Itulah ulasan tentang Kerajaan Kediri Sejarah, Raja, Dan Peninggalan, Beserta Kehidupan Politiknya Secara Lengkap. Semoga apa yang diulas diatas bermanfaat bagi pembaca. Sekian dan terimakasih. Baca juga refrensi artikel terkait lainnya disini Kerajaan Demak Sejarah, Raja, Dan Peninggalan, Beserta Masa Kejayaannya Secara Lengkap Kerajaan Banten Sejarah, Raja, Dan Peninggalan, Beserta Masa Kejayaannya Secara Lengkap Kerajaan Tarumanagara Sejarah, Raja, Dan Peninggalan Beserta Kehidupan Politik Secara Lengkap Kerajaan Sriwijaya Sejarah, Raja, Dan Peninggalan Beserta Kehidupan Politiknya Secara Lengkap Kerajaan Singasari Sejarah, Raja, Dan Peninggalan Beserta Kehidupan Politiknya Secara Lengkap Kerajaan Aceh Sejarah, Raja, Dan Peninggalan Beserta Kehidupan Politiknya Secara Lengkap Kerajaan Samudra Pasai Sejarah, Raja, Peninggalan, Beserta Kehidupan Politiknya Secara Lengkap Mungkin Dibawah Ini yang Kamu Cari
.
  • klx3auc99m.pages.dev/980
  • klx3auc99m.pages.dev/310
  • klx3auc99m.pages.dev/409
  • klx3auc99m.pages.dev/905
  • klx3auc99m.pages.dev/738
  • klx3auc99m.pages.dev/791
  • klx3auc99m.pages.dev/445
  • klx3auc99m.pages.dev/726
  • klx3auc99m.pages.dev/438
  • klx3auc99m.pages.dev/851
  • klx3auc99m.pages.dev/614
  • klx3auc99m.pages.dev/938
  • klx3auc99m.pages.dev/790
  • klx3auc99m.pages.dev/407
  • klx3auc99m.pages.dev/312
  • sistem politik kerajaan kediri